Berita / Feature /
Buang-buang Duit ke Glasgow
 
                Papiliun Indonesia di COP26 beserta logo-logo sponsornya. foto: ist
Jakarta, elaeis.co - Bisa jadi semua delegasi Indonesia yang diberangkatkan ke UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) di Glasgow Scotlandia itu sudah kembali ke Tanah Air.
Namun bisa jadi pula ada yang masih betah di sana untuk sekadar berfose di St.Mongo’s Cathedral, Provend’s Lordship, Museum, Botanical Garden, Kelvingrove Art Gallery, Riverside Museum atau Mitchell Library.
Dan bahkan bisa jadi pula bertandang ke Edinburgh untuk sekadar mengelus patung ekonom kelas dunia, Adam Smith, yang ada di sana. Kebetulan Glasgow-Edinburgh cuma perjalanan satu jam.
Lalu apa oleh-oleh yang kemudian dibawa oleh delegasi yang konon berjumlah 300 orang --- dan dibiayai oleh puluhan perusahaan raksasa --- itu dari Glasgow?
Jawabannya bisa jadi sama dengan yang pernah digadang-gandang di Perjanjian Paris. Sebab misi COP26 juga masih sama dengan itu; menghadang kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat selsius.
Kalau merujuk pada laman World Resources Institute (WRI), sesungguhnya Indonesia tidak termasuk dalam negara yang menjadi sasaran tembak penurunan emisi karbon yang menjadi topik utama konfrensi tingkat tinggi itu.
Sebab meski emisi karbon yang dihasilkan oleh Indonesia pada 2018 kata climatewatchdata, mencapai 1,70 Gt CO2 eq, namun kalau diurai, emisi yang dihasilkan oleh energi hanya 598,17 Mt CO2 eq, pertanian 200,24 Mt CO2 eq, Limbah 133,84 Mt eq, proses industri 37,34 Mt CO2 eq dan perubahan penggunaan lahan dan kehutanan 734,28 Mt CO2 eq.
"Emisi karbon perkapita India dan Indonesia masih relatif rendah; 2,5 ton dan 3,62 ton," tulis WRI pula.
WRI kemudian merunut, bahwa angka emisi perkapita India dan Indonesia tadi jauh di bawah Amerika yang 18,44 ton, Rusia 17,6 ton dan Uni Eropa yang 7,98 ton.
WRI maupun climatewatchdata sama-sama sependapat bahwa penyebab utama (73%) emisi karbon adalah sektor energi; listrik, transportasi, manufaktur, bangunan, dan energi fosil.
Cina, Uni Eropa dan Amerika menjadi penyumbang 41,5% dari emisi karbon itu.
Climatewatchdata kemudian mengurai, bahwa tahun 2018, emisi karbon yang dihasilkan oleh China sudah di angka 11,71 Gt CO2 eq. Penyebab utamanya adalah energi 10,32 Gt, proses industri 1,17 Gt, pertanian, 672,87 Mt, limbah 197,57 Mt dan perubahan penggunaan lahan dan kehutanan -649,43 Mt.
Lantas Amerika menghasilkan emisi karbon 5,79 Gt. Sekitar 5,27 Gt berasal dari penggunaan energi, 385,25 Mt oleh pertanian, 233,91 Mt proses industri, 133,24 Mt dari limbah dan -229,27 Mt dari proses perubahan penggunaan lahan dan kehutanan.
Eropa menghasilkan emisi karbon 3,33 Gt CO2 eq. Sebanyak 2,9 Gt berasal dari penggunaan energi, pertanian 389,55 Mt, proses industri 166,07 Mt, limbah 108,70 Mt dan perubahan penggunaan lahan dan kehutanan -233,92 Mt.
Lantas apa yang kemudian dijanjikan emiter terbesar tadi untuk perubahan iklim? Masih di laman WRI itu, hanya India dan China yang nyata-nyata berjanji untuk menurunkan emisinya dengan mengurangi pemakaian energi fosil sekitar 50% di 2030. Selebihnya justru menjanjikan dukungan dana aksi iklim kepada negara-negara berkembang.
   
Palm Oil Agribusiness Policy Institute (PASPI) sendiri menengok bahwa COP26 Glasgow hanya retorika. Soalnya apa yang disuarakan di COP26 tak sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya.
"Yang disuarakan di COP26 itu Nol deforestasi. Ini tak nyambung. Seharusnya yang disuarakan itu; hentikan penggunaan energi fosil," kata Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung kepada elaeis.co, kemarin.
Lelaki 56 tahun ini kembali mengurai bahwa masalah lingkungan global adalah terjadinya perubahan iklim global (global climate change) seperti anomali iklim, La nina, El nino, banjir, kekeringan, badai hingga karhutla.
"Mengapa terjadi perubahan iklim? Jawabanya karena terjadi pemanasan global (global warming), semakin banyak panas matahari terperangkap diatmosfir (udara bumi), sehingga menaikkan temperatur udara bumi. Kenapa terjadi begitu? Karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (CO2, metan, nitrogen oksida) di atmosfir bumi," Tungkot mengurai.
Penyebab itu semua kata Tungkot adalah emisi gas rumah kaca (GHG) dari bumi meningkat cepat. Sumber GHG terbesar (70 persen) adalah energi fosil ( minyak bumi, batu bara, gas alam).
Kontribusi LULUCF (land use, land use change and forestry ) hanya sekitar 8-10 persen. "Jadi, kalau mau menghentikan pemanasan global/ kenaikan temperatur udara, maka konsumsi energi fosil harus diturunkan atau dihilangkan dan emisi yang terlanjur ada di atmosfir bumi harus diserap kembali," katanya.
Di Indonesia, implementasi kebijakan mandatori biodiesel B30 kata Tungkot tidak hanya menghemat devisa impor solar fosil, tapi juga menurunkan emisi CO2.
Dengan penyerapan biodiesel sekitar 5,3 juta ton selama periode Januari-Agustus 2021, emisi sektor energi dan transportasi nasional diperkirakan turun sekitar 12,2 juta ton C02 eq.
"Ini sangat bagus. Di saat masyarakat dunia pasca COP26 Glasgow masih sibuk merencanakan dan negosiasi dana proyek pengurangan emisi CO2 eq, Indonesia sudah lebih dahulu menurunkan emisi 12,2 juta ton CO2 eq," tegasnya.
Itu baru dari penggunaan biodiesel, belum lagi dari yang lain. Lalu, ngapain rame-rame terbang ke Glasgow yak?
 







Komentar Via Facebook :