Berita / Nasional /
BRIN: Sawit Jadi Andalan Bioenergi, Tapi Riset Minim
Kepala Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN, Umi Muawanah. Dok. Istimewa
Jakarta, elaeis.co - Di tengah ketidakpastian pasokan energi global, kelapa sawit kembali diposisikan sebagai komoditas strategis.
Dari biodiesel hingga bioavtur, hampir seluruh bagian pohon sawit bisa diolah menjadi energi. Pemerintah pun menempatkan sawit sebagai pilar utama menuju target net zero emission 2060.
Namun, minimnya riset membuat ambisi besar ini terancam berjalan di tempat. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan bahwa penelitian sawit di Indonesia masih tertinggal jauh dari kebutuhan industri.
Kepala Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN, Umi Muawanah, menilai penelitian sawit seharusnya berada di garis depan, bukan hanya mengikuti arus kebijakan.
“Selama ini riset lebih banyak fokus pada limbah dan emisi. Padahal, peluang besar justru ada di diversifikasi produk dan inovasi teknologi,” katanya dalam konferensi IPORICE 2025 di Jakarta.
Umi menyoroti paradoks yang sering muncul yakni limbah sawit dianggap sebagai sumber pencemaran, padahal sebenarnya bisa menjadi bahan baku bioenergi yang potensial.
Dari sisi pemerintah, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut sawit sudah menjadi tulang punggung energi terbarukan Indonesia.
“Kontribusi bioenergi terhadap bauran energi terbarukan tahun lalu mencapai 14,68 persen, dan hampir 70 persen di antaranya dari sawit,” jelas Iryan Permana Dharma, Subkoordinator Perencanaan Program Bioenergi ESDM.
Menurutnya, program biodiesel B35 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan mandatori biodiesel terbesar di dunia. Selain biodiesel, pengembangan juga merambah bioetanol, biometana, hingga bioavtur.
Bagi sektor swasta, tantangan datang dari pasar internasional. Agus Purnomo, Direktur Utama PT SMART Tbk, mengatakan pembeli dari Amerika, Eropa, dan Tiongkok menuntut produk sawit berkelanjutan.
“Beberapa pembeli besar bahkan bersedia membayar premi 30–50 dolar per ton untuk produk yang rendah emisi. Jadi keberlanjutan bukan lagi pilihan, tapi kewajiban,” ungkap Agus.
Agus memetakan emisi sawit ke dalam dua kategori yakni emisi terkait lahan seperti dari limbah cair pabrik (POME) dan pupuk, serta emisi tidak langsung dari transportasi dan rantai pasok. Mitigasi dilakukan lewat konservasi hutan, restorasi gambut, hingga pemanfaatan POME menjadi energi.
Sementara itu, Ketua Bidang Teknologi GPPI, Petrus Tjandra, menegaskan perlunya sinergi pentahelix: pemerintah, industri, akademisi, masyarakat, dan media. “Jangan sampai hasil riset berhenti jadi laporan. Harus ada mekanisme agar bisa dikomersialkan, termasuk untuk petani sawit,” ujarnya.
Petrus mencontohkan Jepang yang kini memanfaatkan cangkang sawit sebagai bahan bakar pembangkit listrik, menggantikan sebagian porsi energi nuklir. Menurutnya, itu bukti potensi sawit di tingkat global.
Meski peluangnya besar, jalan menuju bioenergi sawit berkelanjutan masih panjang. Tanpa riset mendalam, diversifikasi produk energi berbasis sawit sulit berkembang. Begitu juga dengan isu emisi yang masih menjadi sorotan dunia.
Diskusi di IPORICE 2025 menegaskan, sawit memang bisa jadi penyelamat krisis energi, tetapi hanya jika riset, teknologi, dan hilirisasi berjalan beriringan. Jika tidak, ambisi besar itu bisa sekadar menjadi janji di atas kertas.







Komentar Via Facebook :