https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Blak-blakan! IPB Sebut Penertiban Hutan Tak Realistis, Rakyat Bisa Jadi Korban Baru

Blak-blakan! IPB Sebut Penertiban Hutan Tak Realistis, Rakyat Bisa Jadi Korban Baru

Ilustrasi - Wikipedia


Jakarta, elaeis.co - Kebijakan pemerintah dalam menertibkan kawasan hutan kembali menuai sorotan tajam. Kali ini, peringatan keras datang dari Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.S. 

Ia menilai langkah pemerintah yang hendak menarik kembali jutaan hektare kebun sawit rakyat dan perusahaan ke dalam status kawasan hutan, justru berpotensi melahirkan konflik sosial berskala besar.

Dengan nada getir, Sudarsono mempertanyakan logika pemerintah. Ribuan hektare kebun yang sudah puluhan tahun dikelola masyarakat kini tiba-tiba disebut bermasalah hanya karena dianggap berada di kawasan hutan. 

“Kalau semua kebun rakyat di Tesso Nilo atau Gunung Balak dipaksa ditarik kembali, lalu bagaimana nasib ribuan orang yang menggantungkan hidup di sana? Apa mereka tiba-tiba jadi sejahtera? Kan tidak,” ujarnya dengan suara yang sarat keprihatinan.

Menurut Sudarsono, polemik ini adalah buah dari lemahnya pengawasan pemerintah di masa lalu. Sekitar 3 juta hektare kebun sawit kini dipermasalahkan karena dituding berada di kawasan hutan. Padahal, kata dia, alih fungsi lahan sebesar itu tidak mungkin terjadi tanpa pembiaran.

“Pertanyaannya, selama ini kehutanan kerjanya apa? Kok bisa peralihan lahan sebesar itu tidak terpantau? Lalu sekarang mau diambil lagi, padahal toh nanti akhirnya tidak terurus. Ini hanya siklus kegagalan yang diulang-ulang,” sindirnya.

Ia menuding Kementerian Kehutanan terjebak dalam regulasi kuno yang sudah tidak relevan dengan kondisi lapangan. Aturan warisan 1947 tetap dijadikan acuan mutlak, meski kenyataan sosial masyarakat jauh berbeda. “Mau dipindahin bagaimana? Kalau memang bisa bikin lebih sejahtera, ya silakan. Tapi realistisnya? Tidak mungkin,” katanya tajam.

 

Sudarsono menilai pemerintah dan aparat hukum hanya terpaku pada teks regulasi, tanpa sedikit pun menengok kehidupan sosial masyarakat. “Keadaan sosial tidak pernah mereka cek. Status kawasan hutan dijadikan kitab suci, padahal yang dikorbankan manusia nyata dengan anak, istri, dan masa depan,” ucapnya.

Sebagai jalan keluar, ia mendorong solusi yang lebih realistis: keluarkan saja kebun sawit rakyat dari status kawasan hutan. Menurutnya, kebun yang sudah mapan jelas memberikan kesejahteraan lebih nyata dibandingkan hutan tanaman industri (HTI) yang terbukti stagnan. 

“Lihat saja sekitar HTI, tidak ada perkembangan. Masyarakat rugi. Tapi kalau di kebun sawit, orang bisa hidup,” tegasnya.

Ia bahkan menyarankan agar industri pulp ditutup karena dianggap tidak sejalan dengan kepentingan rakyat. 

Sektor kehutanan, kata dia, hanya menyumbang pendapatan negara di bawah satu persen dan minim investasi di luar Jawa. Bandingkan dengan sawit yang jelas memberi kontribusi besar pada devisa dan kesejahteraan.

Sudarsono menutup dengan sindiran pedas terhadap klaim bombastis mengenai “potensi kehutanan” yang disebut pemerintah. Ia menyebutnya ilusi. “Mereka bilang potensi madu ratusan ribu ton. Tapi apa gunanya kalau hanya klaim kosong? Itu seperti bilang ada berlian dua kepalan tangan di dasar laut, tapi tak bisa diambil. Lebih baik satu kepalan kecil, tapi ada di kamar sendiri,” katanya.

Peringatan ini jelas bukan sekadar kritik, melainkan alarm keras. Jika pemerintah nekat memaksakan penertiban tanpa memperhitungkan nasib masyarakat, konflik sosial besar hanya tinggal menunggu waktu.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :