https://www.elaeis.co

Berita / Pasar /

Biar Tak Kecanduan Impor, Wayan Supadno Sodorkan Solusi Ini 

Biar Tak Kecanduan Impor, Wayan Supadno Sodorkan Solusi Ini 

Anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo, Wayan Supadno saat berada di lahan perkebunannya di Kalimantan Tengah. Foto: Ist


Jakarta, elaeis.co - Walau sebuah negara punya kekayaan alam tropis yang terbentang luas, itu tidak bisa menjadi jaminan negara itu berdaulat pangan jika tidak dibarengi dengan pembangunan SDM unggul dan iklim usaha yang berpihak pada produsen. 

Bergetar suara lelaki 55 tahun ini mengatakan itu saat tahu kalau inflasi pangan Indonesia sudah bertengger di angka 11,5%. 

Angka 11,5% ini adalah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Konfrensi Pers APBN KITA, empat hari lalu. 

"Ini sangat tidak rasional, sudah melampaui batas, mestinya inflasi pangan ini maksimal 5%. Padahal sebelumnya Bank Indonesia melaporkan inflasi pangan masih di angka 10,47%," kata praktisi pertanian Wayan Supadno, kemarin.

Pensiunan Mayor TNI ini menyebut, bagi masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, biaya hidup dari pangan mencapai 60% dari pendapatannya. 

Lantaran itu, jika inflasi pangan sudah mencapai angka seperti tadi, otomatis akan berpotensi menambah jumlah kemiskinan; dari rentan miskin ke kelompok miskin. Suka tak suka, stunting pun bertambah.

"Pondasi pangan Indonesia masih rapuh, belum kokoh. Mulai dari petani sebagai produsen, daya dukung lahan, inovasi dan tata niaga yang tidak berpihak ke petani, menjadi masalah pokoknya. Alhasil, impor pangan dan sarana produksi mencapai ratusan triliun rupiah pertahun," urai Ikon Petani Inovatif 2016 ini. 

Anggota Dewan Pakar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini kemudian mencontohkan impor gandum yang di atas 12 juta ton per tahun. Ini berawal dari dulunya disubsidi agar gandum laris manis di Indonesia.

Kemudian impor gula sekitar 4 juta ton pertahun, padahal tahun 1930 an Indonesia adalah produsen terbesar ke-2 di dunia.

Impor bawang putih juga mencapai 600 ribu ton per tahun, kedelai 3 juta ton per tahun, sapi dan daging setara 1,6 juta ekor per tahun, susu 78% dari total kebutuhan, belum lagi buah dan banyak lagi.

"Sarana produksi pupuk kimia, pestidida dan herbisida jutaan ton pertahun, ratusan triliun per tahun nilai impor kita," Wayan menghitung.

Belakangan kata Wayan, harga BBM naik tajam, biaya produksi di negara asal mahal. Ongkos kirim dari negara asal ke Indonesia juga naik tajam. Harga pangan pun menjadi mahal. "Kenapa? Lantaran kita tetap harus impor lantaran volume produksi kita kurang. Alhasil, inflasi pangan naik tajam," ujarnya.

Lagi-lagi kata Wayan, ini terjadi lantaran pembangunan SDM kurang mengarah kepada mandiri inovatif. Iklim usaha tidak membikin situasi yang bisa merangsang agar makin banyak orang mau bertani. 

Harga Pokok Produksi (HPP) tinggi tidak kompetitif. Karena HPP tinggi, nilai jual tinggi, maka dicarilah yang murah. Jadilah kecanduan pangan impor.

"Apa yang kemudian menjadi solusi untuk ini? Pertama, harus ada gerakan transformasi pemuda inovatif bertani dengan jiwa pengusaha agar HPP rendah dan kompetitif membendung impor. Sehingga pangan lebih berdaulat," Wayan mulai memberi solusi.

Kedua, bangun iklim usaha yang berpihak ke produsen yang notabene petani. Apapun yang menjadikan HPP rendah dan menang bersaing dibandingkan barang impor, lakukan. 

Selanjutnya kata Wayan, masayarakat konsumen digerakkan cinta produk petani dalam negeri. Ini tidak hanya menghadang impor, tapi juga menghadang petani trampil menjadi TKI dan memilih menjadi petani pangan di lahan luas seperti di Kalimantan. "Ironis jika mereka jadi petani di negara lain," katanya.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :