Berita / Nusantara /
Belajar dari PIR di Pasbar, Petani Sawit Diingatkan Menabung
Zulfi Prima Sani Nasution SP, peneliti PPKS Medan
Medan, Elaeis.co - Pola perkebunan inti rakyat (PIR) disebut-sebut sebagai pola yang sangat sukses dan mampu menyejahterakan petani sawit. Proyek itu didanai oleh Bank Dunia, dana kredit disalurkan melalui bank lokal dengan bunga yang sangat rendah, dan menempatkan perusahaan perkebunan milik negara (PTPN) sebagai inti.
Salah satu yang dianggap ideal dan sukses menikmati pola PIR itu adalah para petani sawit di Kecamatan Luhak Nan Duo, Kecamatan Pasaman Barat (pasbar), Provinsi Sumatera Barat.
“Bahkan kesuksesan PIR di Pasbar sempat diekspos di sebuah jurnal internasional,” kata Zulfi Prima Sani Nasution SP, peneliti sosio tekno ekonomi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, kepada Elaeis.co, Sabtu (31/7).
Dari hasil penelitian Zulfi dan rekan-rekannya terungkap bahwa tanaman sawit perdana yang ditanam dalam pola PIR di Luhak Nan Duo diawali tahun 1980 dan berlanjut di tahun 1986.
Para petani peserta PIR benar-benar dihadapkan pada masa depan yang cerah. Mereka seolah tidak mengalami kesulitan apapun dalam mengelola kebun sawit karena dibantu sepenuhnya oleh pihak PTPN. Saking suksesnya, para petani plasma itu sempat punya empat koperasi, yakni Koperasi Petani Sawit (KPS) Perintis, KPS Indah, KPS Makmur, dan KPS Maju.
Di awal tahun 1990-an, cerita tiba-tiba mulai berubah. Kisah sukses menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Zulfi mengatakan, persoalan baru mulai muncul justru di saat cicilan para petani sawit ke bank hampir lunas. Pihak PTPN sebagai perusahaan inti, katanya, mengalami kelebihan kapasitas sehingga tak sanggup menampung dan mengolah tandan buah segar (TBS) milik plasma.
“Semua tangki timbun pihak PTPN over capacity, kelebihan kapasitas,” kata mahasiswa paska sarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Pedesaan IPB itu.
Akhirnya para petani plasma menjual TBS mereka ke sejumlah pabrik kelapa sawit (PKS) yang saat itu mulai banyak bermunculan. Di saat yang sama, lemahnya pengelolaan koperasi juga membuat cerita indah tentang PIR seperti tidak berbekas.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa salah satu penyebab buyarnya kisah manis petani PIR adalah mental konsumtif. Petani juga tidak antusias menabung dan merencanakan masa depan kebun mereka.
“Padahal berdasarkan riset sebuah lembaga dari Jerman, kebun mereka merupakan lahan yang terbaik untuk perkebunan sawit dan pola PIR itu juga dipuji sebagai yang terbaik. Namun sekelas mereka saja bisa tumbang kalau tidak dibarengi dengan manajemen yang baik,” kata Zulfi.
Status para petani itu sudah berubah dari petani plasma menjadi eks plasma. Lemahnya manajemen koperasi dan pengelolaan kebun membuat mereka tak sanggup meremajakan sendiri tanaman sawit yang sudah berusia 30tahun lebih. “Saya dengar kabar, saat ini para petani sawit di Luhak nan Duo telah mengikuti program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang mendapatkan bantuan dari pemerintah,” ungkapnya.
Zul berharap para petani sawit belajar dari kisah petani Luhak nan Duo. “Jangan terlena oleh harga TBS yang terus naik dalam dua tahun terakhir. Petani sawit harus menabung dan memikirkan masa depan kebun sawit mereka, agar siap menghadapi berbagai persoalan yang bakal dihadapi di masa depan,” pesannya.







Komentar Via Facebook :