https://www.elaeis.co

Berita / Serba-Serbi /

Begini Kesaksian Tiga Ahli Tanah dan Hutan di Sidang Korupsi Duta Palma

Begini Kesaksian Tiga Ahli Tanah dan Hutan di Sidang Korupsi Duta Palma

Sidang lanjutan terhadap perkara korupsi usaha perkebunan sawit PT Duta Palma. (ist)


Jakarta, elaeis.co - Tiga orang saksi ahli (ahli a de charge) dihadirkan di sidang korupsi dalam kegiatan perkebunan sawit yang dilakukan oleh PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. 

Ketiganya dihadirkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberikan kesaksian atas dugaan korupsi dengan terdakwa Surya Darmadi selaku pemilik PT Duta Palma Group dan Raja Thamsir Rachman selaku mantan Bupati Indragiri Hulu. 

Pertama adalah Herban Heryandana, selaku Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Dia dihadirkan di sidang yang digelar Rabu (18/1). 

Dalam kesaksiannya, Herban menerangkan bahwa untuk perusahaan yang memiliki Izin Lokasi (ILOK) dan Izin Usaha Pertambangan, belum dapat melakukan aktivitas bila masuk dalam kawasan hutan, sehingga harus dilakukan pelepasan kawasan terlebih dahulu. 

"Untuk 5 perusahan milik PT Duta Palma Grup, berdasarkan data di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan masuk dalam kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT)," ungkapnya. 

Dia juga menjelaskan, terkait dengan Undang-Undang Cipta Kerja, sebelum dilakukan pelepasan kawasan, dilakukan perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan atau Dana Reboisasi (DR), dan perizinan pemanfaatan hutan yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 dengan Cipta kerja adalah sama, dan bukan termasuk untuk perizinan perkebunan karena perkebunan bukan merupakan kegiatan pemanfaatan hutan.  

Kemudian dua saksi ahli lain dihadirkan di sidang yang digelar Senin (16/1). Pertama adalah Dr Lingk R Sholikin Arifin, CN selaku Ahli Pertanahan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya menyebutkan, ada beberapa hal pokok yang disampaikan saksi di persidangan. 
 
Di antaranya, bahwa kawasan hutan secara domain dikuasai negara dan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999, domain kewenangannya ada pada Kementerian Kehutanan. 

"Untuk pemanfaatan kawasan hutan, harus ada izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan sehingga kawasan hutan berubah statusnya menjadi area penggunaan lain (APL). Setelah itu, sertifikat hak pengelolaannya diterbitkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional," bebernya. 

Saksi, kata Ketut, menerangkan bahwa yang berwenang menunjuk kawasan hutan adalah Kementerian Kehutanan di Provinsi Riau (dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan beserta perubahannya) bukan Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda).
 
"Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah diberikan kewenangan untuk menentukan kawasan hutan, namun penentuan peta pada Peraturan Daerah harus terintegrasi dan sesuai dengan peta yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan," jelasnya.  

"Bahwa antara perizinan pemanfaatan hutan yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999 dengan Cipta Kerja adalah sama, dan bukan termasuk untuk perizinan perkebunan karena perkebunan bukan merupakan kegiatan pemanfaatan hutan," lanjut Ketut menjelaskan kesaksian Dr Lingk R Sholikin Arifin.

Saksi ahli yang terakhir adalah Prof Dr Sudarsono Soedomo selaku Ahli Manajemen Hutan. Ketut menjelaskan, dalam kesaksiannya, Prof Sudarsono menerangkan bahwa yang berhak melakukan penunjukan kawasan hutan adalah Pemerintah Pusat. 

Di mana, Surat Ketetapan (SK) Menteri Kehutanan berupa Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) beserta perubahannya, bukan menunjukan hal itu adalah kawasan hutan. Sebab untuk ditetapkan sebagai kawasan harus melalui proses tahapan dan hal tersebut untuk Provinsi Riau belum ada ditetapkan kawasan hutan, sehingga hal yang dilakukan oleh 5 perusahaan milik terdakwa Surya Darmadi adalah sah dan tidak melanggar hukum. 

"Atas hal tersebut, terhadap SK Menteri Kehutanan berupa TGHK adalah bodong/palsu semua dan pendapat ahli tersebut tanpa dilandasi adanya teori dan dasar hukum," pungkasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :