Berita / Nusantara /
Beda Pemahaman Terhadap Regulasi, Salah Satu Pemicu Konflik di Sektor Sawit
Pembukaan Seminar Nasional Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlanjutan Sawit Indonesia. foto: BPDPKS
Jakarta, elaeis.co - Sektor kelapa sawit di Indonesia masih diwarnai konflik dan gangguan usaha. Untuk mencegahnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menegaskan pentingnya pemahaman regulasi oleh semua pemangku kepentingan sawit.
Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS, Achmad Maulizall Sutawijaya, kembali mengingatkan perlunya pemahaman regulasi itu pada Seminar Nasional Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlanjutan Sawit Indonesia yang diadakan oleh Media Perkebunan dan BPDPKS.
Dia mengatakan, BPDPKS berperan aktif mendukung keberlanjutan sektor sawit melalui pendanaan. Termasuk peningkatan dana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektare untuk menjawab keluhan petani.
"Namun saat ini BPDPKS menunggu regulasi lebih lanjut untuk memastikan keberlanjutan perannya. Ini terkait dengan perubahan struktur kementerian di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo, termasuk perpindahan Kementerian Pertanian ke bawah koordinasi Menteri Koordinator Pangan," katanya dalam siaran pers, Kamis (21/11).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian, Prayudi Syamsuri, menjelaskan bahwa kelapa sawit memiliki karakteristik unik dibandingkan komoditas perkebunan lain. "Keseimbangan antara kontribusi perusahaan dan petani rakyat di sektor ini menciptakan kekuatan ekonomi lokal, tetapi juga berpotensi memicu konflik akibat aktivitas yang berbagi tapak lahan," sebutnya.
Dia menekankan pentingnya sistem peringatan dini untuk mengantisipasi gangguan usaha yang berisiko menimbulkan dampak sosial dan ekonomi besar.
Hendra J. Purba, Pemimpin Usaha Media Perkebunan, menyoroti sejarah kelapa sawit sebagai contoh kemitraan antara perusahaan dan masyarakat sekitar kebun. Namun, konflik sering muncul karena perbedaan pemahaman terhadap regulasi.
Oleh karena itu, seminar ini menjadi wadah untuk berbagi pengalaman dan solusi dalam menghadapi tantangan tersebut. Seminar dilanjutkan dengan kunjungan ke Museum Perkebunan Indonesia untuk menggali pelajaran dari sejarah.
Dalam seminar tersebut, Ketua Kelompok Hukum, Perizinan, dan Humas Sekretaris Ditjen Perkebunan, Hadi Dafenta, memaparkan bahwa ada 25 regulasi terkait sektor perkebunan, dengan tiga isu utama sering menjadi sumber konflik.
Pertama, pemenuhan hak atas tanah. UU Nomor 39 Tahun 2014 mewajibkan perusahaan memiliki izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU). Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015 menegaskan perlunya kedua dokumen tersebut untuk menjamin legalitas lahan dan meminimalisir konflik.
Kedua, Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM). Aturan ini dibagi menjadi tiga fase sesuai perizinan usaha: Fase 1: Sebelum 28 Februari 2007, perusahaan yang sudah bermitra dianggap memenuhi kewajiban FPKM. Fase 2: Perusahaan wajib menyediakan 20% lahan dari IUP untuk FPKM atau kegiatan usaha produktif. Dan Fase 3: Perusahaan dengan lahan non-HGU atau kawasan hutan wajib memenuhi FPKM, sedangkan lahan dari masyarakat tidak.
Ketiga, Pemenuhan Bahan Baku. Berdasarkan Permentan Nomor 98/2013 jo 21/2017, pabrik kelapa sawit (PKS) harus memiliki 20% bahan baku dari kebun yang dikelola sendiri, baik oleh perusahaan maupun masyarakat.
Untuk mencegah potensi konflik yang dapat mengganggu keberlanjutan industri sawit, semua pihak diimbau memahami dan mematuhi regulasi yang ada.







Komentar Via Facebook :