https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

Balada Sawit Indonesia

Balada Sawit Indonesia

Seorang ibu mematut-matut migor non sawit yang sudah juga membanjiri supermarket. foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - Bolehlah dibilang Indonesia adalah penghasil Tandan Buah Segar (TBS) sawit terbesar dunia dan kemudian menjadi penghasil Crude Palm Oil (CPO) dan biodiesel terbesar dunia pula. 

Hanya saja rangkaian predikat itu nyaris enggak ada apa-apanya. Sebab meski luas kebun kelapa sawit Indonesia mencapai 16,38 juta, tapi Malaysia yang luas kebun kelapa sawitnya hanya sekitar 5 juta hektar justru yang menjadi penentu harga.  

Selain tak bisa jadi penentu harga, Indonesia juga tak bisa berdaulat soal kaidah sawit menjadi tanaman berkelanjutan. 

Konon, tekanan Non Government Organization (NGO) sangat kental hingga lahirlah Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjadi wajib bagi petani kelapa sawit.  

Indonesia juga tak bisa mengamankan kebutuhan dalam negerinya, khususnya minyak goreng (migor). Sudah beragam cara yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan migor itu begitu dinyatakan mahal sejak akhir tahun lalu. 

Bahkan Kementerian Perdagangan Kemendag sempat membikin aturan main Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) pada 27 Februari 2022. 

Maksudnya, perusahaan pengekspor CPO, musti meninggalkan 20% dari total CPO yang akan diekspor di dalam negeri untuk dijadikan migor. 

Harga CPO yang ditinggal itu dipatok Rp9300 dan kalau sudah jadi migor, jenis curah dibanderol Rp11.500 dan premium Rp14 ribu. Harga ini terpaut jauh lebih rendah ketimbang harga CPO yang saat itu sudah di level lebih dari Rp15 ribu perkilogram. Sementara kebutuhan CPO untuk menghasilkan 1 liter migor sekitar 1,4 kilogram.   

Tapi sayang, aturan main ini justru bikin masalah makin rumit. Di satu sisi pengekspor musti mengocok ulang quota ekspornya yang sudah kadung terikat kontrak dengan pembeli di luar negeri. 

Di sisi lain, walau Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah diseret agar mensubsidi proses pembuatan migor itu, tetap saja tak berhasil, yang ada malah keadaan makin parah. Sudahlah migor mahal, langka pula. 

Entah lantaran marah urusan migor tak kelar-kelar atau ada musabab lain, persis 28 April 2022, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan larangan ekspor migor dan bahan baku migor. 

Sinyal itu sebenarnya sudah ditebar sekitar sepekan sebelum keputusan itu, persis beberapa hari setelah tiga pentolan perusahaan besar dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag RI, ditangkap dengan tuduhan berkongsi gelap soal urusan ekspor. 

Begitu sinyal larangan ekspor itu menyebar, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) kelimpungan. Dimana-mana harga TBS petani, khususnya petani swadaya langsung terjerembab.

Kambing hitam atas terjerembabnya harga itu sontak berseliweran. Sasaran utamanya langsung pada perusahaan-perusahaan besar, layaknya pada kasus medio Februari 2022.   

Bagi banyak orang, penghentian ekspor dengan alasan demi memenuhi kebutuhan migor dalam negeri itu, bukanlah solusi yang tepat. 

Sebab sesungguhnya pokok persoalan dari sulitnya  pemenuhan migor ini adalah disparitas harga, tak terkecuali pada kasus DMO-DPO. "Saat itu harga untuk jadi migor dipatok Rp9300, sementara harga KPBN saja sudah Rp15 ribu. Enggak masuk dia," ujar salah seorang pelaku usaha CPO yang tak mau namanya disebut saat berbincang dengan elaeis.co kemarin.   

Di kasus penghentian ekspor ini kata dia, persoalan akan makin runyam. Sebab menurut dia, berapapun migor yang disiapkan di dalam negeri, enggak akan pernah cukup. Padahal kalau dihitung-hitung, kebutuhan CPO untuk migor hanya sekitar 6 juta ton. 

"Harga migor curah dibikin Rp14 ribu, sementara di pasaran harga migor kemasan sekitar Rp24 ribu hingga Rp26 ribu per liter," terangnya.

Di negeri yang teramat luas ini kata dia, apa bisa diawasi ketat perderan migor curah itu? "Apa bisa diawasi agar oknum tidak beli migor curah untuk kemudian dipacking jadi migor kemasan?" dia bertanya. 

"Atau apa bisa kita awasi di garis pantai terpanjang dunia ini tak akan ada yang menyeludupkan? Taruhlah di pelabuhan resmi tak bisa dikirim, tapi pelabuhan tikus? lagi-lagi dia bertanya. 
  
Dia kemudian menyarankan agar urusan migor disesuaikan saja dengan mekanisme pasar dan jangan melulu menyalahkan perusahaan besar. 

"Upaya pemerintah memberikan BLT Rp100 ribu sebulan itu, sudah bagus dan sudah berjalan bukan? Rp100 ribu itu kan sudah setara dengan 4 liter migor. Masak 4 liter migor enggak cukup untuk satu rumah tangga dalam sebulan," sindirnya. 

Lelaki ini menyebut, kalau larangan ekspor terus diperpanjang, yang menderita itu adalah petani sawit swadaya. Sebab perusahaan pemilik tangki timbun dan refinery akan langsung membatasi pasokan bila sudah akan penuh.  

"Rata-rata pemilik tangki timbun dan refinery itu kan punya kebun sendiri, termasuk juga plasmanya. Perusahaan tentu akan lebih memprioritaskan CPO nya ketimbang CPO dari hasil olahan petani sawit swadaya," katanya. 



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :