Berita / Feature /
Bakal Panen TBS atau Panen Masalah, Disini Kuncinya...
Petani sedang mengeluarkan bibit sawit dari polybag untuk ditanam langsung. foto: ist
Jakarta, elaeis.co - Baru di bauran 30 persen saja Biosolar, dampak positifnya sudah kemana-mana. Di dalam negeri harga sawit melambung tinggi, di luar negeri calo-calo minyak sawit gigit jari lantaran stok Crude Palm Oil (CPO) dunia, menjadi terbatas.
Gimana pula nanti kalau bauran sudah B40, B50, bahkan B80? Belum lagi pesehor inovasi Indonesia sudah pula bisa membikin biohidrokarbon, bioavtur dan bio-bio lainnya, alamat harga minyak sawit akan menjulang tinggi dan petani sawit pun bakal jadi orang kaya masa kini.�
Terpesona? Ya, orang dari delapan penjuru mata angin pun berbondong-bondong membeli kebun sawit atau membeli lahan untuk ditanami sawit lantaran harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit kian menggiurkan. Dua kali penghujung Ramadhan, petani sawit dibikin sumringah.�
Dan�kalaupun kebun rakyat bertambah, kelebihan produksi enggak terlalu jadi pikiran. Sebab itu tadi, jadi apapun dibikin, sawit oke-oke saja tuh. Makin terpesona? Ya gitu deh�maka torehkan lah dalam hati bahwa sawit adalah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa untuk Indonesia dan dunia! ��
Baca juga: Loe Terpesona, Gue Terperosok
Panjang lebar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) ini mengurai fenomenalnya tanaman asal Mauritius Afrika itu, saat berbincang dengan elaeis.co, tadi siang. ��
Hanya saja kata kandidat doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini, gara-gara terpesona dengan sawit, banyak masyarakat yang gelap mata, membeli kebun sawit atau tanah kosong tanpa mengecek dulu kelayakannya. Alhasil, tak sedikit petani berujung terperosok dalam kubangan masalah. Ada yang kemudian masuk rumah sakit dan ada pula yang berurusan dengan aparat hukum.�
�Itu terjadi lantaran kebun atau tanah yang dibeli tadi, bukan panen TBS, tapi panen masalah. Biar ke depan enggak terjadi lagi yang kayak begitu, sebagai organisasi petani terbesar di dunia, Apkasindo punya kewajiban moril terhadap petani agar tidak terperosok ke dalam kubangan itu. Ini sederet tips yang kami berikan,� ujar ayah dua anak ini.
Pertama kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, hindari konflik vertical. Maksudnya, benar-benar cek dulu apakah lahan itu berada di klaim kawasan hutan atau tidak. Sebab kalau di kawasan hutan, rakyat akan bermasalah dengan pemaku kawasan hutan.�
�Mengecek ini enggak sulit kok. Dowload saja aplikasi pintar Global Positioning System (GPS) di HP android. Pilihannya lumayan banyak. Salah satunya aplikasi Avenza. Bisa juga berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan atau Perkebunan setempat. Atau bisa juga langsung menghubungi perwakilan Apkasindo yang tersebar di 144 kabupaten kota di 22 provinsi. Kami siap membantu,� katanya.
Kedua, hindari konflik horizontal. Ini adalah konflik antara petani dengan petani, petani dengan masyarakat adat, dan petani dengan pemegang izin. Entah itu Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengusahaan Hutan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), atau izin tambang.�
�Konflik horizontal ini lebih pelik dan ribet ketimbang konflik vertikal tadi, apalagi kalau konflik dengan pemegang izin, pembeli akan numpang bengkak lah. Biar konflik ini enggak terjadi, sebelum membeli, silahkan bertanya kepada aparat desa atau tetangga kebun yang akan dibeli. Untuk tahu apakah ada izin perusahaan di sana, lagi-lagi Tanya Dinas Perkebunan atau Kehutanan, jangan bertanya ke tetangga kebun, sebab jawabannya akan selalu bias (mencari teman sependeritaan),� Gulat tersenyum.�
Ketiga, pastikan sejauh apa lokasi kebun dengan akses jalan umum. Sebab kalau kebun jauh di pedalaman, ini cenderung akan menambah biaya. Mulai dari biaya pembuatan jalan, perawatan jalan dan apalagi kalau harus melewati jalan perkampungan, ceritanya akan lain lagi.�
Keempat, pastikan jarak kebun dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Sebab hasil panen pasti akan dikirim ke PKS. Kalau jarak kebun ke PKS jauh --- melebihi 10-20 km --- biaya produksi akan lumayan bertambah. Idealnya ongkos memindahkan TBS sampai ke PKS maksimum Rp150/kg.
Kelima, periksa betul surat kepemilikan kebun, terutama para sempadan (tetangga)nya. Apakah semua bertandatangan, atau tidak. Lalu posisi pasti tanahnya dimana. Soalnya sering terjadi, peta di surat beda dengan posisi tanah sebenarnya. Ini penting, untuk menghindari persoalan di kemudian hari.
Apakah itu pada Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) atau Surat Keterangan Tanah (SKT), sama saja. Yang lebih baik itu tentu kalau suratnya sudah Sertifikat Hak Milik (SHM).�
Keenam, cek juga jenis tanah kebunnya. Kalau bisa memilih, tentu kita harus memilih tanah yang sangat subur (S1), atau paling tidak S2 (subur dengan sedikit faktor pembatas).�
Ketujuh, lahan tidak rawan banjir. Untuk menentukan rawan atau tidak rawan banjir harus menggunakan GPS (leveling), atau bisa juga dilihat dari jenis vegetasi yang dominan di tanah yang akan dibeli.�
Kedelapan, luasan tanah yang dibeli. Kalau mau berkebun sawit dengan tujuan pekerjaan utama, atau menambah penghasilan atau tabungan masa tua/pensiun dan kita tidak tinggal di seputaran kebun, idealnya luas kebun yang dibeli antara 6-25 hektar.�
Tapi kalau ingin mengerjakan sendiri dan berdomisili di sekitar kebun, 4 hektar saja sudah cukup, dengan asumsi penghasilan bersih Rp1,2 juta/ha/bulan. Itu jika memenuhi kriteria Good Agricultural Practices (GAP).�
Kesembilan, kenali asal dan jenis bibit sawit yang sudah tertanam. Untuk memastikan sumber bibit sawit memang hal yang rumit lantaran pemilik kebun yang akan dibeli pasti berdalih bibitnya asli. Kalau pemilik kebun masih memiliki sertifikat sumber bibit/kecambah, bisalah dihubungi produsen bahan tanamannya. Misal PPKS Medan, Damimas atau bisa juga menghubungi perwakilan Apkasindo setempat untuk memastikan kebenarannya.�
Lantas gimana kalau dokumennya sama sekali enggak ada? Kalau tanamannya sudah berumur panen atau Tanaman Menghasilkan (TM), bisa juga ditengok dari brondolan TBSnya, kalau daging buahnya tebal dan cangkangnya kecil, berarti bibitnya jenis Tenera. Ini bisalah diindikasikan kalau pohon sawit nya adalah hasil persilangan DxP (hybrid).�
Cara pengambilan brondolan ini harus diambil secara acak, minimum sampel brondolan yang diambil hasilnya 80% jenis Tenera (DxP). Kalau misalnya kebunnya 2 hektar (260 batang tanaman), maka brondolan yang diambil harus 25% dari total populasi (65 pohon). �Bibit yang tidak hybrid, hasil panennya hanya 30% dari produksi normal selama 25 tahun masa produktif sawit.�
Kesepuluh, tengok aspek agronomisnya. Perhatikan aspek perawatan kebun oleh pemilik sebelumnya. Apakah pernahkah dipupuk, ditunas, berapa jarak tanam, populasi tanaman per hektar, badan jalan panen dan batas sempadan.�
Yang perlu disoroti adalah jarak tanam, banyak yang mengasumsikan semakin banyak populasi per hektar semakin banyak hasilnya. Ini pemahaman yang salah dan fatal. Umumnya jarak tanam kelapa sawit adalah 8x9m atau 9x9 m, tapi dengan menggunakan metode tertentu bisa juga 7,8 x 9m.�
Kalau kecil dari jarak tanam itu, sebaiknya jangan dibeli, sekalipun bibitnya hybrid (DxP). Sebab dengan jarak tanam yang terlampau sempit, tidak akan pernah menghasilkan panen yang optimum. �
Populasi perhektarnya juga harus dicermati. Kadang-kadang luas kebun 10 hektar, tapi populasinya hanya setara dengan luasan 6 hektar. Itu terjadi lantaran sawitnya banyak yang mati atau rusak.�
�Inilah tipsnya kalau mau membeli kebun yang sudah ada sawitnya. Tapi kalau membeli tanah kosong untuk kemudian ditanami sawit, cukup fokus ke nomor 1 sampai 8. Agribinis kelapa sawit adalah investasi jangka panjang (20-25 tahun), jangan terburu-buru memutuskan, kalau tidak hati-hati, boro-boro bisa membuat orang terpesona, yang ada Anda justru akan panen masalah, bukan buah sawitnya,� Gulat mengingatkan.�
�







Komentar Via Facebook :