Berita / Nasional /
Bahan Baku Minyak Goreng Domestik Harus Diprioritaskan Ketimbang Ekspor
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina. Foto: Geraldi/Man
Jakarta, elaeis.co - Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina meminta ada prioritas dari pemenuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri sebelum melakukan ekspor.
Menurutnya, jumlah konsumsi minyak goreng belakangan ini cenderung meningkat dibanding tahun 2014 yang sebesar 9,60 liter/kapita/tahun, belum termasuk konsumsi di luar rumah tangga seperti konsumsi oleh hotel, restoran/rumah makan, katering, dan lembaga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa komoditas ini memiliki andil cukup besar dalam pengeluaran konsumsi masyarakat (0,1 persen) setelah perhiasan emas (0,26 persen) dan cabai merah (0,16 persen).
“Selain itu, kebutuhan akan salah satu sumber omega 9 ini juga cenderung meningkat setiap tahunnya. Proyeksi tingkat konsumsi minyak goreng sudah mencapai 10,86 liter/kapita/tahun,” sebutnya melalui pernyataan resminya.
Berdasarkan data dari sejumlah asosiasi perkelapasawitan, total produksi CPO (crude palm oil) pada tahun 2020 mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (66 persen) diekspor dan 17,34 juta ton (34 persen) terserap di dalam negeri.
Dia melanjutkan, selama ini proporsi serapan minyak goreng dalam negeri lebih kecil sekitar 34 persen dibandingkan luar negeri. Dengan tingginya harga pasar dunia, ekspor memang sangat menjanjikan ditambah lagi kelangkaan stok dunia.
"Tapi kebutuhan dalam negeri jangan sampai diabaikan sehingga mengorbankan mahalnya minyak goreng dalam negeri,” tutur politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Nevi memaparkan, pendistribusian minyak goreng dari produsen hingga ke konsumen akhir di 34 provinsi di Indonesia dapat melibatkan 3 sampai 7 pelaku kegiatan perdagangan.
“Pola utama distribusi perdagangan minyak goreng nasional adalah Produsen–Distributor–Pedagang Eceran–Konsumen Akhir dengan MPP (Margin Perdagangan dan Pengangkutan) total sebesar 17,41 persen. Ini mengindikasikan bahwa secara nasional kenaikan harga dari produsen hingga ke konsumen akhir berdasarkan pola utamanya adalah sebesar 17,41 persen,” terangnya.
Nevi mendorong kepada para asosiasi untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Situasi yang sangat mengkhawatirkan, meskipun pemerintah sudah menjanjikan 250 ribu ton ketersediaan tiap bulan, namun masyarakat melakukan panic buying dengan memborong minyak goreng dengan harga Rp14.000.
“Saya menekankan kepada pemerintah agar kebijakan pemerintah ini dapat berdampak jangka panjang dalam persoalan minyak sawit ini. Dengan harga Rp14.000, ternyata memicu gejolak perilaku masyarakat terutama masyarakat yang memiliki kemampuan daya beli. Bagaimana masyarakat yang tidak mampu beli?” tukasnya.
Berdasarkan informasi yang ia kumpulkan, meskipun harga Rp14 ribu ditentukan pemerintah, ada titik-titik tertentu stok minyak goreng tidak ada. Ini artinya, ada situasi yang tidak terkendali dalam harmonisasi supply dan demand. Bahkan beberapa supermarket memanfaatkan situasi dengan mewajibkan pembelian minyak goreng Rp14 ribu mesti beli produk lain dulu sebesar Rp50 ribu. Untunglah pemerintah dengan cepat menangani hal ini.
“Saya menyarankan, operasi pasar di titik-titik masyarakat yang memiliki daya beli rendah harus dilakukan pada harga minyak goreng Rp14 ribu. Selain menjamin adanya stok yang memenuhi kebutuhan masyarakat dengan syarat maksimal pembelian, juga meningkatkan ketepatan sasaran pemenuhan kebutuhan masyarakat,” tutup legislator daerah pemilihan (dapil) Sumatera Barat II ini.







Komentar Via Facebook :