Berita / Nasional /
B50 Dinilai Buru-Buru, Sawit Watch: Jangan Sampai Indonesia ‘Korsleting’ Ekologis
Jakarta, Elaeis.co – Program mandatori B50 yang bakal mulai digenjot pemerintah pada 2026 kembali mendapat sorotan tajam.
Sawit Watch mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah mengejar target tanpa menghitung risiko ekologis dan sosial yang bisa “meledak” sewaktu-waktu.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menilai strategi pemerintah mengejar target produksi 100 juta ton CPO pada 2045 terasa seperti “mengambil jalan pintas”. Apalagi rencana itu disertai pembukaan lahan baru 600 ribu hektare untuk perkebunan sawit.
“Kalau digeber tanpa hitung risiko, ini bisa bikin Indonesia korsleting ekologis,” tegas Rambo, Sabtu (22/11).
Ia menyebut ruang ekspansi sawit di Indonesia sudah hampir habis. Berdasarkan analisis Sawit Watch, daya dukung lingkungan untuk perkebunan sawit sekitar 18,15 juta hektare, sementara lahan tertanam saat ini sudah 17,3 juta hektare.
“Artinya, kita tinggal punya celah sedikit sekali. Kalau dipaksa buka hutan baru, ya siap-siap risiko besar,” ujarnya.
Sawit Watch khawatir permintaan CPO akan melonjak tajam akibat B50 dan seterusnya. Tanpa skenario intensifikasi yang serius, pemerintah dinilai akan tergoda membuka hutan alam baru.
“Dampaknya, deforestasi meningkat, bencana ekologis makin sering, dan tingkat keparahannya juga bakal lebih dalam,” kata Rambo.
Ia menegaskan, memperluas kebun sawit sama saja dengan membuka pintu kekacauan baru. “Kita pernah lihat banjir bandang, longsor, kekeringan ekstrem. Jangan anggap itu kejadian biasa. Polanya jelas: kawasan hutan dibuka, ekosistem ambruk,” lanjutnya.
Selain soal lingkungan, Rambo menyoroti risiko konflik sosial yang akan melonjak. Data Sawit Watch (2024) mencatat ada 1.126 konflik perkebunan sawit di Indonesia, melibatkan 385 perusahaan dan 131 grup di 22 provinsi. Angka itu diprediksi naik kalau pemerintah membuka 600 ribu hektare lahan baru.
“Masyarakat di sekitar kebun itu yang paling rawan jadi korban. Sudah banyak yang kehilangan lahan garapan, akses air, hingga ruang hidup. Kalau perluasan dipaksakan, konflik baru tinggal menunggu waktu,” tegasnya.
Rambo juga mengingatkan soal dilema Food vs Fuel. Implementasi B50 diperkirakan memerlukan tambahan bahan baku FAME hingga 19 juta kiloliter. Kalau pasokan CPO tersedot besar-besaran ke biodiesel, kebutuhan pangan bisa ikut terjepit.
“Risikonya jelas: kelangkaan, harga naik, dan minyak goreng kembali jadi ‘barang mewah’ seperti beberapa tahun lalu,” katanya.
Sawit Watch menilai pemerintah justru harus memperkuat program peremajaan sawit rakyat (PSR) dan mempercepat audit izin perkebunan ketimbang membuka lahan besar-besaran.
“Ini soal masa depan ekologi dan keamanan pangan. Jangan hanya mengejar target politik sesaat. Kalau salah langkah, dampaknya bisa panjang dan rakyat kecil yang bayar harganya,” tutup Rambo.







Komentar Via Facebook :