https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Aturan Plasma Sawit 30 Persen, Anggota KPPU: Kebijakan Populis yang Tidak Rasional

Aturan Plasma Sawit 30 Persen, Anggota KPPU: Kebijakan Populis yang Tidak Rasional

Kantor koperasi plasma sawit di Bengkulu. foto: Ist. (ilustrasi)


Jakarta, elaeis.co - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akan menerapkan aturan baru terkait kewajiban perusahaan sawit membangun kebun plasma bagi masyarakat sekitar. Kewajiban plasma akan dinaikkan menjadi 30 persen bagi perusahaan yang mengajukan pembaruan HGU (Hak Guna Usaha) tahap ketiga selama 35 tahun.

Aturan yang mewajibkan pembangunan 20 persen lahan plasma yang berlaku selama ini hanya akan diterapkan untuk pemberian HGU tahap pertama selama 35 tahun dan perpanjangan HGU tahap kedua untuk 25 tahun selanjutnya.

Namun rencana itu ditolak banyak pihak. Salah satunya Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Eugenia Mardanugraha. Dia menilai rencana aturan baru itu tidak sesuai dengan undang-undang (UU) dan berpotensi merusak iklim investasi di Indonesia.

“Pemerintah, selain mengubah undang-undang, juga sering membuat aturan yang sifatnya mendadak. Itu sangat tidak baik untuk iklim investasi. Pengusaha atau investor butuh kepastian hukum dalam berusaha,” kata anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini dalam keterangan yang dikutip elaeis.co Jumat (21/2).

Berdasarkan data, katanya, jumlah investasi yang masuk ke Indonesia belakangan ini tidak banyak berubah karena investasi baru masih susah masuk. Banyak alternatif negara-negara lain yang memiliki kepastian hukum lebih baik, seperti Vietnam. Ke sanalah uang akan mengalir,” tandasnya.

Karena itulah Eugenia menilai rencana aturan baru plasma sebesar 30 persen bagi perusahaan sebagai kebijakan populis yang tidak rasional karena sulit untuk direalisasikan secara baik.

Alasan pertama, rencana kewajiban plasma 30 persen bertentangan dengan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam pasal Pasal 58 UU Cipta Kerja disebutkan bahwa perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari: (a) area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau (b). areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20 persen dari luas lahan tersebut.

“Kalau mau menambah kewajiban plasma, pemerintah harusnya mengubah undang-undang tersebut lebih dulu,” tegasnya.

Alasan kedua, rencana penambahan kewajiban plasma sulit direalisasikan dalam waktu dekat. Andai misalnya nantinya akan mengundang para transmigran untuk memenuhi kewajiban plasma 30 persen, butuh waktu lama untuk mengajari mereka bertanam sawit. “Itu bukan perkara satu dua hari,” tandasnya.

Karena itu, Eugenia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada evaluasi pelaksanaan plasma yang diwajibkan 20 persen sesuai undang-undang. “Yang itu saja belum terpenuhi secara baik. Apalagi masih banyak persoalan lain yang terjadi di industri sawit,” sebutnya.

Dia berharap kemitraan antara perusahaan sawit dengan petani plasma terus dibina agar terwujud kemitraan yang benar-benar sehat sehingga masyarakat bisa menikmati hasil dari kemitraan ini dengan senang hati.

“Artinya, hubungan kemitraan antara inti (perkebunan milik swasta/negara) dan plasma (perkebunan yang dimiliki secara mandiri oleh petani) ini tidak terpaksa. Kemitraan jangan hanya menguntungkan satu pihak, tapi keduanya harus merasa happy. Itu yang akan membuat industri sawit ini menjadi terus bertahan di Indonesia sebagai produsen sawit nomer 1 di dunia,” pungkasnya.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :