Berita / Nusantara /
Atas Nama Penguasaan Negara, Ratusan Ribu Hektare Lahan Petani Sawit Diambil Paksa Satgas PKH
Jakarta, elaeis.co - Ratusan ribu hektare kebun sawit milik petani rakyat ikut terseret dalam penguasaan kembali yang dilakukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Kajian terbaru Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM) menemukan fakta mengejutkan, dari seluruh lahan yang diklaim dikuasai kembali, sekitar 614.235 hektare ternyata milik petani swadaya, bukan perusahaan.
Menurut Direktur PUSTAKA ALAM, Zainal Arifin, selama ini Satgas PKH melaporkan kepada Presiden bahwa semua lahan yang mereka ambil kembali adalah milik perusahaan.
Padahal kenyataannya, banyak lahan yang sudah dikelola petani bertahun-tahun ikut masuk dalam penguasaan kembali. Kajian ini menggunakan data resmi, termasuk laporan penyerahan lahan dari Satgas PKH ke PT Agrinas Palma Nusantara dan dokumen perusahaan sawit.
Kesalahan utama, kata Zainal, terletak pada tafsir Satgas PKH terhadap izin lokasi perusahaan. Izin lokasi hanyalah perencanaan penggunaan lahan, bukan bukti kepemilikan.
Bahkan menurut aturan yang berlaku, pemegang izin lokasi tetap wajib menghormati hak pihak lain yang sudah mengelola lahan.
Namun Satgas PKH menafsirkan izin lokasi seolah-olah lahan sudah milik perusahaan, sehingga kebun rakyat ikut terseret penguasaan kembali.
Di lapangan, kasusnya nyata. Di Kalimantan Tengah, lahan PT UP seluas 571 hektare ternyata sepenuhnya milik masyarakat. Di Riau, penguasaan kembali di areal PT GH mencapai 7.520 hektare, hampir semuanya kebun petani. Kasus serupa juga terjadi di PT TP dan PT TMP dengan ribuan hektare lahan rakyat ikut tercatat dalam penguasaan kembali.
Meskipun perusahaan sudah menyampaikan bahwa lahan tersebut milik petani, Satgas PKH tetap menetapkan lahan itu sebagai objek penguasaan kembali. Plang penguasaan memang tertulis nama perusahaan, tapi kebun rakyat tetap tercatat dalam berita acara.
PUSTAKA ALAM memperingatkan, penguasaan paksa ini bisa memicu konflik horizontal di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Riau. Petani yang sudah bertahun-tahun mengolah lahannya tentu akan berusaha mempertahankan kebunnya, sementara pihak perusahaan dan Mitra Kerja Sama Operasi (KSO) dari luar daerah fokus panen cepat.
Kajian ini menekankan perlunya transparansi, pengecekan lapangan, dan keterlibatan masyarakat agar pengelolaan kawasan hutan tidak merugikan petani. Dengan begitu, hak rakyat terlindungi dan konflik sosial bisa dicegah.







Komentar Via Facebook :