Berita / Internasional /
AS, UE, dan India, Kompak Tak Ramah ke Sawit Indonesia
Konvoi truk tangki siap mengantar CPO ke pelabuhan untuk diekspor. Foto: ist.
Jakarta, elaeis.co - Industri sawit Indonesia tengah menghadapi tekanan hebat dari pasar global. Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan India, tiga pasar besar minyak sawit dunia menerapkan kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung membatasi masuknya minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya dari Indonesia.
Jika tak segera diantisipasi, tekanan ini akan menggerus ekspor dan berdampak langsung ke tingkat petani.
Tekanan terbaru datang dari AS. Pemerintahan Presiden Donald Trump akan memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk sejumlah komoditas dari Indonesia, termasuk CPO.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyebut situasi ini sebagai pukulan telak bagi daya saing industri sawit nasional.
“Dengan tarif setinggi itu, bea masuk sawit Indonesia di pasar AS bisa mencapai USD 221 per ton, jauh lebih tinggi dibanding Malaysia yang hanya dikenai USD 140 per ton karena tarifnya cuma 24 persen,” jelas Eddy, kemarin.
Ancaman tak kalah serius datang dari UE. Di balik jargon hijau dan keberlanjutan, UE bersiap menerapkan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi (EUDR) pada 30 Juni 2026. Aturan ini melarang produk seperti sawit, kakao, kopi, dan kayu yang ditanam di lahan hasil deforestasi, legal maupun ilegal, masuk ke pasar Eropa.
“Ini akan jadi hambatan nontarif yang sulit dihadapi, terutama bagi petani kecil yang tak punya akses ke sertifikasi berstandar tinggi,” ungkap Mansuetus Darto, anggota Dewan Penasihat Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
Sementara itu, dari belahan Asia Selatan, India, yang selama ini jadi pasar ekspor sawit terbesar Indonesia, juga mengambil langkah proteksionis. Negara itu menaikkan bea masuk minyak nabati dari 5,5 persen menjadi 27,5 persen untuk produk mentah, dan hingga 35,75 persen untuk produk olahan.
Tak cukup sampai di situ, India juga sedang menjalankan Misi Nasional Minyak Nabati–Kelapa Sawit (NMEO-OP). Program ambisius ini menargetkan perluasan lahan kelapa sawit domestik dari 1 juta hektar menjadi 6,6 juta hektar, serta peningkatan produksi CPO dari 1,13 juta ton menjadi 2,8 juta ton pada tahun 2031. Artinya, India sedang bersiap jadi pemain besar, bukan lagi sekadar pembeli.
Mansuetus Darto menilai kombinasi kebijakan dari tiga negara tersebut sangat mengkhawatirkan. “Kalau industri tidak bisa bertahan menghadapi tekanan eksternal ini, efeknya bisa langsung terasa di petani sawit. Harga tandan buah segar (TBS) bisa ikut anjlok,” ujarnya.
Sebagai respons, GAPKI dan SPKS mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah diplomatik. Negosiasi harus dibuka dengan mitra dagang strategis, terutama untuk memperjuangkan keberlanjutan sawit RI di tengah derasnya proteksionisme global.
Eddy juga menyoroti tingginya beban industri sawit di dalam negeri. Pungutan ekspor dan bea keluar yang saat ini bisa mencapai USD 170 per ton dianggap jadi beban ganda yang mencekik pelaku industri.
“Jangan sampai kita dikepung dari luar, tapi juga dibebani dari dalam. Industri sawit harus dibela kalau kita ingin ekonomi daerah tetap berdenyut,” pungkas Eddy.







Komentar Via Facebook :