Berita / Internasional /
APMI ke Uni Eropa: Koar-Koar Jelekkan Sawit, Tapi Tutup Mata Deforestasi Kedelai
Hamparan hutan Amazon yang berubah jadi ladang kedelai (Foto/TBIJ)
Jakarta, elaeis.co - Asosiasi Planters Muda Indonesia (APMI) menyoroti sikap hipokrit Uni Eropa yang terus menggencarkan kampanye hitam terhadap kelapa sawit Indonesia.
Di balik isu lingkungan dan iklim yang kerap digembar-gemborkan, Eropa disebut tengah memainkan strategi kotor demi melindungi kepentingan ekonomi minyak nabati mereka sendiri seperti rapeseed, bunga matahari, dan kedelai.
“Sudah lebih dari dua dekade sawit dijadikan kambing hitam global. Narasinya dibuat seolah sawit perusak bumi, padahal datanya menunjukkan sebaliknya,” tegas Mulyadi, Kepala Departemen Kajian dan Advokasi APMI, Sabtu (25/10).
Menurutnya, kampanye negatif yang dilakukan Uni Eropa hanyalah perang dagang yang dibungkus dengan isu hijau.
Secara ilmiah, kelapa sawit merupakan tanaman minyak paling efisien di dunia. Satu hektar kebun sawit mampu menghasilkan hingga 4 ton minyak mentah, jauh di atas kedelai (0,4 ton), bunga matahari (0,6 ton), dan rapeseed (0,8 ton) per hektar. Artinya, kedelai butuh 10 kali lebih banyak lahan untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama.
“Kalau Eropa benar peduli lingkungan, mereka seharusnya mendukung sawit, bukan menyerangnya. Tapi faktanya, sawit dibatasi, sementara kedelai dari Brasil yang menebang Amazon malah diterima dengan tangan terbuka,” sindir Mulyadi.
APMI juga menyoroti kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang dikeluarkan Uni Eropa. Dalam aturan itu, sawit dihapus dari daftar bahan bakar berkelanjutan, sementara minyak nabati lain seperti rapeseed dan bunga matahari justru dilindungi.
“Kebijakan ini jelas bukan soal lingkungan, tapi soal ekonomi. Uni Eropa ingin melindungi petani minyak nabatinya sendiri dan membuka pasar bagi kedelai dari Amerika Latin dan AS,” jelas Mulyadi.
Ia menilai langkah Uni Eropa tersebut merupakan bentuk nyata dari standar ganda global, menyalahkan sawit Asia, tapi diam terhadap kerusakan hutan akibat kedelai dan rapeseed di belahan dunia lain.
Berdasarkan data FAO dan riset Science (Poore & Nemecek, 2018), kelapa sawit hanya menggunakan 6% dari total lahan minyak nabati dunia, namun menghasilkan 36% dari total produksi minyak nabati global. Sebaliknya, kedelai menggunakan lebih dari 40% lahan dunia, tetapi hanya menghasilkan 19% minyak.
“Artinya, sawit lebih hemat lahan dan punya jejak karbon lebih rendah. Tapi kenapa sawit yang selalu diserang? Karena efisien, murah, dan mengancam dominasi minyak nabati Barat,” papar Mulyadi.
Ia menegaskan, deforestasi besar-besaran di Amazon dan Cerrado akibat ekspansi kedelai jarang mendapat sorotan media Barat. Sementara sawit di Indonesia sudah menerapkan sertifikasi berkelanjutan RSPO dan ISPO, tetap saja jadi sasaran kampanye hitam.
APMI meminta pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk tidak tinggal diam terhadap narasi sesat yang merugikan jutaan petani sawit. “Sawit bukan musuh lingkungan. Dengan tata kelola yang benar, sawit justru bisa jadi solusi energi berkelanjutan dunia,” ujarnya.
Menurut APMI, kampanye negatif Uni Eropa harus dilawan dengan data, diplomasi, dan transparansi. “Cukup sudah sawit dijelek-jelekkan. Saatnya Indonesia bicara lantang dan tunjukkan siapa sebenarnya yang bermain kotor di balik isu hijau,” tutup Mulyadi.







Komentar Via Facebook :