Berita / Nasional /
APKASINDO Bongkar Pungli PSR: Setoran Rp1–2 Juta per Hektar Jadi Syarat
Ilustrasi - dok.elaeis
Jakarta, elaeis.co - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr. Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP., C.IMA., C.APO, buka-bukaan soal dugaan praktik pungutan liar yang menjerat petani peserta Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di berbagai daerah.
Gulat menyebut adanya “setir” atau intervensi oknum dinas perkebunan yang mempersulit pelaksanaan PSR. Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar mengganggu administrasi, tapi juga memukul semangat petani yang sudah berkorban menunda pendapatan selama masa replanting.
“Kami petani sawit ingin membantu Presiden Prabowo memperkuat kemandirian pangan dan energi. PSR ini bisa naikkan produktivitas dari 1,7–2 ton CPO menjadi 6–8 ton CPO/ha/tahun. Tapi kalau prosesnya dipersulit begini, kapan majunya?” ujar Gulat, Senin (1/12).
Ia menjelaskan, petani sudah cukup terbebani oleh proses pengajuan PSR yang bisa memakan waktu dua hingga tiga tahun. Belum lagi biaya penyusunan dokumen yang rumit.
“Pas mau pelaksanaan PSR, kena ‘setir’ pula dari oknum dinas perkebunan kabupaten/kota,” katanya.
Menurut laporan yang diterima APKASINDO, oknum dinas disebut-sebut mengarahkan agar kontraktor tertentu ditunjuk dalam pengerjaan PSR. Jika kelompok tani atau koperasi tidak mengikuti arahan, kontraktor pilihan petani diwajibkan menyetor Rp1 juta hingga Rp2 juta per hektare.
“Alasannya, rekanan yang direkomendasikan oknum tersebut juga bersedia setor. Ini bikin saya geram. Tidak semua PSR seperti ini, tapi kasus yang dilaporkan cukup meresahkan,” ujar Gulat.
Ia mengaku menemukan pola lain yang lebih mencurigakan yaitu kontraktor yang “direstui” diduga sengaja mendirikan perusahaan baru untuk tiap proyek PSR agar lolos dari kewajiban PKP dan pajak. “Dari cara inilah mereka bisa berani setor Rp1–2 juta per hektare,” jelasnya.
Lebih parah, dari pengamatan APKASINDO, delapan dari sepuluh kontraktor model ini menghasilkan pekerjaan jauh di bawah standar GAP, bahkan sebagian berujung perkara pidana.
Gulat kembali mengingatkan bahwa dana PSR bukan berasal dari APBN, melainkan dari Pungutan Ekspor (PE) CPO yang juga membebani petani.
“Per November ini, harga TBS kami tertekan Rp320/kg akibat PE,” ujarnya.
Sejak Mei 2024, pemerintah resmi meningkatkan bantuan PSR dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektare. Dana ini mencakup biaya replanting, bibit, perawatan, tanaman sela, hingga pendampingan sampai kebun kembali produktif.
Namun, meski dana sudah disiapkan BPDPKS sebesar Rp7,2 triliun, realisasi PSR masih seret.
“Hingga November 2025, capaian PSR baru 21,24% atau 25.485 hektare dari target 120 ribu hektare. Serapan anggarannya baru Rp1,4 triliun,” kata Gulat.
Ia mendesak pemerintah turun tangan menertibkan oknum yang memperlambat program strategis nasional tersebut.
“Kalau praktik begini dibiarkan, mustahil PSR bisa jalan cepat. Petani yang paling dirugikan,” tegasnya.







Komentar Via Facebook :