Berita / Pojok /
Anomali Penertiban Kawasan Hutan
Muhamad Zainal Arifin. Foto: Dok. Pribadi
Oleh: Muhamad Zainal Arifin*
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan hutan membawa dampak buruk terhadap pengelolaan dan investasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Berdasarkan data Satgas Penertiban Kawasan Hutan, penguasaan kembali lahan telah mencapai 1.100.674,14 hektar dari target 1.177.194,34 hektar.
Luasan tersebut mencakup sekitar 33% dari total luas perkebunan kelapa sawit yang teridentifikasi di kawasan hutan mencapai 3,3 juta hektar yang sebagian besar di kawasan hutan produksi dalam tahap penunjukan.
Jika dibandingkan dengan luas perkebunan kelapa sawit seluas 16,83 juta hektar (Data Tahun 2024), maka luas lahan dilakukan penguasaan kembali mencapai 6,54 %.
Kebijakan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan investasi, karena dianggap sewenang-wenang dan bertentangan dengan regulasi di atasnya, seperti UU No. 6 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Dalam konteks ini, Perpres No. 5 Tahun 2025 menciptakan anomali penertiban kawasan hutan. Pertama, Perpres No. 5 Tahun 2025 bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2023 maupun PP No. 24 Tahun 2021 yang justru dijadikan dasar pertimbangan penerbitan Perpres tersebut.
Misalnya, Ketentuan Pasal 4 Perpres dijadikan dasar untuk melakukan penguasaan perkebunan kelapa sawit di Kawasan Hutan Produksi, bertentangan dengan Pasal 110A UU No. 18 Tahun 2013 jo UU No. 6 Tahun 2023 dan Pasal 26 PP No. 24 Tahun 2021.
Di dalam Pasal 4 ayat (2) Perpres No. 5 Tahun 2025 menyatakan: "Penertiban Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan terhadap Setiap Orang yang melakukan kegiatan pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di Kawasan Hutan Produksi yang:
a. memiliki Perizinan Berusaha namun tidak memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dikenakan sanksi berupa Denda Administratif dan dapat dilakukan Penguasaan Kembali;
b. tidak dilengkapi salah satu komponen Perizinan Berusaha, dikenakan sanksi berupa Denda Administratif dan dapat dilakukan Penguasaan Kembali;
c. tidak memiliki Perizinan Berusaha, dikenakan sanksi berupa Denda Administratif, sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dilakukan Penguasaan Kembali;
d. memiliki Perizinan Berusaha namun diperoleh secara melawan hukum, diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dikenakan sanksi berupa Denda Administratif serta dilakukan Penguasaan Kembali."
Padahal di dalam alinea Kedua Penjelasan Umum PP No. 24 Tahun 2021 disebutkan bahwa Pasal 110A UU No. 18 Tahun 2013 mengatur bahwa kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan sesuai Rencana Tata Ruang, namun belum memiliki izin kehutanan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, tidak dikenai sanksi pidana. Sebaliknya, pemegang usaha diberikan kesempatan untuk menyelesaikan perizinan kehutanan dengan membayar PSDH dan Dana Reboisasi (DR).
Sedangkan di dalam Pasal 26 PP No. 24 Tahun 2021 mengatur bahwa "Setelah menerima pelaporan pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Menteri menerbitkan:
a. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di dalam kawasan Hutan Produksi; atau
b. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi."
Pasal 26 PP No. 24 Tahun 2021 mengatur bahwa setelah pelunasan tagihan PSDH dan DR, Menteri menerbitkan Persetujuan Pelepasan di Kawasan Hutan Produksi atau Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha untuk usaha yang berlokasi di kawasan hutan lindung, atau hutan konservasi. Pasal ini memberi kesempatan bagi pihak yang telah membayar tagihan untuk melanjutkan kegiatan usaha.
Sebaliknya, Pasal 4 Perpres No. 5 Tahun 2025 memberikan diskresi untuk penguasaan kembali lahan secara langsung, tanpa memfasilitasi proses penyelesaian administrasi sebagaimana yang dilakukan akhir-akhir ini.
Hal Ini bertentangan dengan Pasal 26 PP No. 24 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa pihak yang telah memenuhi kewajiban administratif berhak untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan atau persetujuan melanjutkan kegiatan usaha.
Sedangkan, Pasal 110B UU No. 18 Tahun 2013 yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah pembayaran Denda Administratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan kegiatan usahanya di dalam kawasan Hutan Produksi.
Selanjutnya, Pasal 36 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2021 menyatakan "Terhadap Setiap Orang yang telah melakukan pelunasan pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), Menteri:
a. menerbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan di kawasan Hutan Produksi;
b. memfasilitasi kerja sama dalam hal kegiatan usaha terdapat tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan di kawasan Hutan Produksi;
c. memerintahkan pengembalian areal kegiatan usaha kepada Negara jika kegiatan usaha berada di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi."
Pasal 36 PP No. 24 Tahun 2021 yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 110B UU No. 18 Tahun 2013 memberikan kesempatan bagi pihak yang tidak memiliki perizinan berusaha di kawasan hutan produksi, diberikan kesempatan untuk melanjutkan kegiatan maksimal 25 tahun sejak masa tanam.
Akan tetapi, Pasal 4 Perpres No. 5 Tahun 2025 mengatur penguasaan kembali lahan, tanpa memperhatikan proses administrasi yang telah diatur dalam PP No. 24 Tahun 2021.
Perpres No. 5 Tahun 2025 bertindak sewenang-wenang dalam penguasaan kembali, sementara PP No. 24 Tahun 2021 memberikan ruang untuk penyelesaian administratif terlebih dahulu.
Jika memang ada keterlambatan penyelesaian yang diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110B disebabkan oleh proses administrasi yang rumit dan birokrasi yang lambat, maka tidak adil untuk menyalahkan perusahaan atas situasi ini dan langsung melakukkan penguasaan kembali terhadap lahan perusahaan.
Dalam hal ini, perusahaan tetap berhak untuk memperoleh penyelesaian yang diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110B.
Hal ini sesuai dengan asas "nullus/nemos commodum capere potest de injuria sua propria" menjelaskan bahwa tidak seharusnya perusahaan disalahkan atau dirugikan atas keterlambatan yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian dari pihak lain yang bertanggung jawab.
Kedua, Kelembagaan Satgas di luar Tugas Pokok, Fungsi dan Kewenangan. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) yang melibatkan unsur kejaksaan, TNI, dan Menteri Pertahanan dalam Perpres No. 5 Tahun 2025 berpotensi bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 24 Tahun 2021.
Dalam Pasal 4 UU No. 41 Tahun 1999, diatur bahwa kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan, termasuk pengawasan dan penertiban kegiatan di dalamnya, adalah tanggung jawab Kementerian Kehutanan.
Selain itu, Pasal 1 angka 15 UU tersebut menyebutkan bahwa Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Adanya Satgas yang melibatkan kejaksaan, TNI, dan Menteri Pertahanan, yang tidak memiliki kewenangan langsung dalam pengelolaan hutan, berpotensi menyalahi prinsip pembagian tugas yang sudah diatur dalam UU ini.
Pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang melibatkan berbagai lembaga, seperti kejaksaan, TNI, dan kementerian terkait, dapat dianalogikan dengan situasi di mana kita tidak mempercayai polisi sebagai penyidik dan kemudian membuat Perpres yang menempatkan satpam atau damkar sebagai penyidik.
Ini menunjukkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum yang sudah ada, serta meremehkan kewenangan dan kapasitas institusi yang seharusnya bertanggung jawab.
Ketiga, Penyerahan Kebun Kelapa Sawit kepada PT. Agrinas Palma Nusantara.
Pada tanggal 26 Maret 2025, Satgas Penertiban Kawasan Hutan telah menyerahkan lahan kepada PT. Agrinas Palma Nusantara seluas 216.997,75 hektar.
Penyerahan lahan kepada PT. Agrinas Palma Nusantara oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan merupakan preseden buruk dan berpotensi menjadi bentuk pencucian uang oleh negara.
Tindakan ini tidak mencerminkan upaya penertiban kawasan hutan yang seharusnya dilakukan, melainkan lebih kepada alih kelola lahan yang merugikan negara dan merusak tata kelola lingkungan hidup seolah-olah dianggap legal.
Menurut prinsip penertiban kawasan hutan yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kegiatan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan harus melalui prosedur yang sah dan kembali berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan.
Penyerahan kepada PT. Agrinas Palma Nusantara, yang tidak memiliki perizinan yang sah baik di bidang perkebunan, Hak Guna Usaha (HGU), maupun pelepasan kawasan hutan, justru membuka ruang bagi terjadinya pelanggaran hukum tindak pidana kehutanan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dan pengabaian terhadap prosedur administrasi yang telah ditetapkan.
Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penyerahan tersebut berpotensi dibidik dengan tindak pidana korupsi dan kehutanan ketika tidak lagi menjabat.
Ketika pemerintah mengeluarkan Perpres yang mengatur hal yang bertolak belakang dengan aturan di atasnya, maka kebijakan tersebut tidak hanya membingungkan pelaku kebijakan dan masyarakat, tetapi juga bisa menghambat proses implementasi yang sudah ada.
Di sinilah terdapat anomali penertiban kawasan hutan dengan menciptakan aturan yang tidak tertib dan melenceng dengan politik hukum yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
* Peneliti di Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) dan Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga







Komentar Via Facebook :