https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Anggota KPPU: Jangan Gara-gara Penertiban, Posisi Indonesia Sebagai Produsen Sawit Terbesar Copot

Anggota KPPU: Jangan Gara-gara Penertiban, Posisi Indonesia Sebagai Produsen Sawit Terbesar Copot

Dr. Eugenia Mardanugraha. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co – Upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit di kawasan hutan melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) terus menjadi sorotan. Di balik misi pemulihan aset negara dan pelestarian lingkungan, muncul kekhawatiran terkait keberlanjutan industri sawit nasional, kepastian hukum, serta perlindungan hak masyarakat.

Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang juga akademisi Universitas Indonesia, Dr. Eugenia Mardanugraha, menegaskan perlunya kehati-hatian dalam melakukan penertiban karena sejumlah kebun sawit di kawasan hutan masih memiliki produktivitas tinggi sehingga sebaiknya tetap difungsikan sebagai perkebunan.

“Kalau pohon sawitnya masih bagus dan produktivitas tinggi, sebaiknya dipertahankan sebagai lahan sawit,” ujarnya, dikutip dari rilis yang dibagikan kepada media, Selasa (12/8). 

Sebaliknya, lahan dengan pohon sawit tua dan tidak produktif dapat direstorasi menjadi kawasan hutan. Pendekatan ini diharapkan mampu menjaga neraca produksi sekaligus mendukung target Indonesia Emas 2045.

Eugenia mengingatkan bahwa Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia. Kebijakan yang salah langkah bisa membuat posisi tersebut terancam.

“Jangan sampai gara-gara ada penertiban, produksi kita turun dan posisi kita tergeser. Indonesia harus tetap jadi produsen sawit nomor satu dunia,” tegasnya.

Ia juga menyoroti kontribusi sawit terhadap perekonomian, baik melalui ekspor CPO, bahan baku biodiesel, maupun produk pangan sehari-hari.

“Ekonomi kita banyak ditopang oleh sawit. Kalau tidak ada sawit, mungkin Indonesia tidak sesejahtera sekarang,” tambahnya.

Dalam kapasitasnya di KPPU, Eugenia mencermati dampak Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 terhadap hubungan kemitraan petani dan perusahaan sawit. Ia menilai kejelasan status lahan apakah tetap menjadi perkebunan atau kembali menjadi hutan, akan berdampak langsung pada kontrak, akses modal, dan pola bagi hasil.

“Kalau status kawasannya jelas, masalah-masalah kemitraan bisa berkurang,” ujarnya.

Meski hingga kini Perpres 5/2025 belum memunculkan perkara baru di KPPU, kejelasan regulasi diharapkan memperbaiki iklim usaha dan mengurangi konflik di lapangan.

Eugenia menegaskan bahwa keberhasilan Perpres 5/2025 akan sangat bergantung pada implementasi di lapangan. Selama produktivitas sawit tidak turun dan aspek lingkungan tetap terjaga, regulasi ini diyakini bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.

“Selama produksi tidak turun, regulasi ini masih bisa membawa dampak positif,” pungkasnya.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :