Berita / Nasional /
Akar Masalah Sawit Ada di Hutan, Penataan Kawasan Jadi Taruhan Besar
Pakar lingkungan dan kehutanan, Petrus Gunarso, PhD.
Jakarta, elaeis.co – Industri kelapa sawit nasional kembali berada di persimpangan jalan. Bukan soal produksi atau ekspor yang terus melaju, melainkan soal hulu persoalan yang sejak lama tak benar-benar tuntas yakni soal kawasan hutan.
Penataan kawasan hutan kini dinilai menjadi taruhan besar bagi masa depan tata kelola sawit Indonesia, terutama bagi jutaan petani sawit rakyat yang menggantungkan hidup pada lahan.
Pemerintah saat ini mendorong penertiban kawasan hutan melalui pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) serta penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025 (PP 45/2025).
Tujuannya jelas, memperbaiki tata kelola kawasan hutan nasional yang selama ini dinilai semrawut. Namun, di lapangan, kebijakan ini masih menyisakan banyak tantangan, terutama bagi petani kecil yang lahannya terlanjur masuk dalam klaim kawasan hutan.
Pakar lingkungan dan kehutanan, Petrus Gunarso, PhD, menilai penertiban kawasan hutan pada prinsipnya merupakan langkah yang tepat.
Namun, ia mengingatkan bahwa proses tersebut harus dijalankan secara hati-hati, adil, dan berlandaskan kepastian hukum yang kuat. Tanpa itu, penataan justru berisiko memunculkan masalah sosial dan ekonomi baru.
Menurut Petrus, persoalan utama terletak pada proses penetapan kawasan hutan yang selama ini tidak selalu mengikuti tahapan lengkap sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Tahapan penunjukan, penataan batas, pemetaan, hingga penetapan kerap tidak berjalan utuh. Akibatnya, banyak kawasan hutan yang sah secara administratif, tetapi belum sepenuhnya memiliki legitimasi di tingkat tapak.
Kondisi ini menjadi krusial ketika penegakan hukum dilakukan dengan menjadikan batas kawasan hutan sebagai rujukan utama. Sektor perkebunan sawit pun menjadi salah satu yang paling terdampak.
Padahal, sawit memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional dan menjadi sumber penghidupan jutaan petani rakyat di berbagai daerah.
“Penegakan hukum seharusnya menggunakan dasar yang benar-benar legitimate, agar tujuannya memperbaiki tata kelola, bukan menambah persoalan,” kata Petrus.
Ia menekankan pentingnya perlindungan negara terhadap masyarakat yang telah mengelola lahan secara nyata dan beritikad baik selama bertahun-tahun.
Berbagai kajian menunjukkan, perkembangan perkebunan sawit di daerah berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Bagi petani kecil, lahan bukan sekadar aset, melainkan sumber kehidupan. Karena itu, kebijakan penertiban kawasan hutan dinilai perlu mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi secara seimbang.
Terkait PP 45/2025, Petrus menyoroti belum adanya pembedaan perlakuan yang tegas antara korporasi besar dan petani kecil.
Ketidakjelasan ini berpotensi membebani petani rakyat dan koperasi, terlebih sawit merupakan tanaman jangka panjang yang dibangun melalui investasi bertahun-tahun.
Ketidakpastian di tingkat tapak juga dikhawatirkan berdampak pada program strategis nasional, mulai dari peningkatan produksi CPO, percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), hingga keberlanjutan program biodiesel. Stabilitas pengelolaan kebun menjadi kunci menjaga produktivitas dan pasokan bahan baku.
Sebagai jalan tengah, Petrus mendorong pendekatan transisi yang adil, termasuk melalui Reforma Agraria, Perhutanan Sosial, serta skema agroforestri bagi kebun sawit yang sudah terlanjur tertanam, kecuali di kawasan konservasi.
Jika penataan kawasan hutan dilakukan secara adil dan berpihak pada rakyat, momentum ini bisa menjadi fondasi tata kelola sawit nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.







Komentar Via Facebook :