https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Agar Sawit Tak Keburu Busuk, Petani Swadaya Dibantu Produksi CPO Secara Mandiri

Agar Sawit Tak Keburu Busuk, Petani Swadaya Dibantu Produksi CPO Secara Mandiri

Pembukaan Workshop "Aplikasi Pengolahan Buah Sawit Menjadi CPO untuk Peningkatan Daya Tawar Petani Sawit Mandiri Di Sentra Sawit Rakyat". foto: Humas BRIN


Jakarta, elaeis.co - Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang saat ini menjadi salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Luas perkebunan sawit Indonesia sekitar 16,38 juta hektar, terdiri dari perkebunan yang dikelola perusahaan swasta (55%), perkebunan rakyat (41%), dan BUMN (4%).

Kepala Pusat Riset Agroindustri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mulyana Hadipernata, mengatakan, berkembangnya perkebunan sawit rakyat turut membantu meningkatkan perekonomian masyarakat serta mengurangi pengangguran di daerah sekitarnya.

"Namun peran petani swadaya atau mandiri masih termarjinalkan karena produktivitas kebun rendah, tata kelola kebun yang belum baik, ditambah dengan persoalan logistik pasca panen, pungutan-pungutan yang diterapkan terhadap penjualan tandan buah segar (TBS), dan adanya pedagang perantara," jelasnya dalam keterangan resmi BRIN dikutip Sabtu (5/8).

Selain itu, katanya, hingga kini petani mandiri masih menggantungkan nasib pada penjualan TBS ke pabrik kelapa sawit (PKS). Tidak jarang PKS tersebut punya perkebunan sendiri yang sangat luas serta mendapat pasokan dari kebun masyarakat sekitar yang terikat kemitraan atau plasma. Hal ini sangat mempengaruhi harga TBS petani swadaya

"Akibatnya, TBS dari kebun swadaya hanya menjadi penyangga jika buah produksi kebun sendiri dari perkebunan besar tidak mencukupi," tukasnya.

Kendala rantai pasok yang panjang, waktu tunggu TBS di PKS yang tidak menentu, serta budi daya dan pasca panen yang tidak baik, menjadikan kualitas buah petani swadaya rendah. Buah yang dihasilkan petani berkontribusi terhadap kualitas CPO yang rendah. Kandungan asam lemak bebas (ALB) menjadi tinggi akibat pasokan TBS dari perkebunan rakyat melebihi ambang waktu olah 24 jam setelah petik.

"Meski jumlahnya signifikan, petani sawit mandiri masih menjadi aktor terlemah dalam industri perkebunan kelapa sawit. Salah satu kendalanya adalah alur rantai pasok CPO yang terbilang panjang. Setelah panen di kebun, petani biasanya menjual TBS ke tengkulak. Setelahnya, tengkulak akan membawa TBS ke pengumpul atau ramp untuk ditimbang dan dijual. Baru kemudian pengumpul memasok TBS tersebut ke PKS," paparnya. 

Mulyana mengatakan, pendekatan terbaik untuk mengatasi masalah petani sawit swadaya adalah mengolah TBS sesegera mungkin agar kualitas minyak yang dihasilkan bisa terkendali. Untuk itu, petani sawit harus bisa mengolah sendiri TBS di lokasi tidak jauh dari kebunnya.

"Biaya investasi pembangunan pabrik yang besar dan pengorganisasian merupakan kendala utama bagi petani sawit rakyat, kelompok tani, dan koperasi, untuk membangun PKS," tuturnya.

Sebagai jalan keluarnya, BRIN telah menghasilkan riset untuk pengolahan sawit pada skala petani. Yaitu mesin press buah sawit yang dibuat bekerja sama dengan peneliti MAKSI. "Riset ini disertai teknik pemurnian hasil pemerasan buah agar didapat hasil CPO yang memenuhi standar industri. Mesin ini menerapkan teknologi tepat guna dan sederhana sehingga bisa dioperasikan oleh tingkat petani," bebernya. 

Mesin press buah sawit sederhana itu telah dikenalkan kepada petani pada Workshop "Aplikasi Pengolahan Buah Sawit Menjadi CPO untuk Peningkatan Daya Tawar Petani Sawit Mandiri Di Sentra Sawit Rakyat" yang berlangsung di Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Workshop ini diselenggarakan oleh Pusat Riset Agroindustri BRIN didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan dilaksanakan selama empat hari, 24-27 Juli 2023, dan diikuti oleh  25 petani sawit mandiri di Kalimantan Timur.

Selain pengenalan teknologi, kepada para petani peserta workshop juga dikenalkan skema bisnis dalam pengolahan hasil panen buah sawit berbasis kawasan. "Jika bisa memproduksi CPO secara mandiri, kesejahteraan petani diharapkan bisa meningkat dengan meningkatnya daya tawar dalam penjualan buah sawitnya," sebutnya.

"Dengan memiliki alat pengolahan sawit, petani memiliki pilihan dalam penjualan buah sawit. Bahkan bisa juga mengolah buah reject atau brondolan menjadi produk High Acid (HA)-CPO. Dalam kegiatan workshop ini, untuk pasar HA-CPO sudah tersedia perusahaan sebagai off-taker sehingga kendala pasar bisa diatasi," ungkapnya.  

Mulyana berharap hasil penelitian Pusat Riset Agroindustri BRIN ini bisa dimanfaatkan dan menjadi pendongkrak daya tawar petani dalam rantai pasok industri sawit.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :