https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

9.200.000

9.200.000

Pasar Sebabi Kecamatan Telawang Kabupaten Kota Waringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) yang diklaim kawasan hutan. foto; (Gatra/aziz)


Negeriku..., apa kabarmu hari ini? Mudah-mudahan engkau tetap baik-baik saja meski pandemi sedang membuat kau gelisah. 

Maaf jika hari ini aku belum bisa menancapkan sebatang gala di depan rumahku, mengibarkan bendera merah putih itu demi memeriahkan hari lahirmu. 

Bukan lantaran aku tak cinta lagi sama kau, dan bukan pula lantaran aku sudah lupa bahwa kau adalah zamrud khatulistiwa yang lahir oleh tumpahan darah dan derai air mata. Aku sangat ingat itu. 

Oleh ingatan itulah makanya hari ini aku kembali merenung, merenungi nasib jutaan orang yang sangat cinta kau. 

Saking cintanya mereka kepada kau, mereka membangun desanya, membangun hidupnya, mempercantik tubuhmu pakai keringatnya sendiri. Mereka tak mau menengadahkan tangan kepada orang-orang yang menjalankan kedaulatanmu. 

Mestinya mereka mendapat perlakuan sangat spesial. Sebab mereka telah tidak merepotkan kau meski di antara mereka ada anak cucu orang-orang yang telah menumpahkan darahnya dan bahkan rela mati tak dikenal demi kau, lho.

Perlakuan spesial yang tak pula sampai kayak yang dirasakan oleh pejabat yang menjalankan kedaulatanmu meski tak semua jadi pejabat karena kapasitas dan kemampuannya. Banyak yang jadi pejabat karena nasib dan kedekatan saja.  

Boro-boro mendapat perlakuan spesial, nasib orang-orang itu justru miris sekarang. Kubilang miris lantaran entah kenapa kemudian, tiba-tiba datang 'orang kuat' ke kampung itu bilang kalau sepanjang mata memandang, adalah tanah yang sejak hari itu, telah diberikan penyelenggara kedaulatanmu tadi, kepadanya. 

Luasnya beratus kali lipat ketimbang luas tanah yang sudah dikelola oleh semua orang kampung tadi, termasuk tanah larangan tanda orang kampung itu beradat, leong dalam peta aplikasi avenza, diaku 'orang kuat' itu. 

Belakangan, banyak pula surat tanah orang kampung itu tak laku digadai ke 'kampus hijau' setelah 'orang kuat' tadi menyulap 'tanah pemberian' itu menjadi sumber cuannya. 

Padahal jauh sebelum 'orang kuat' itu datang, surat tanah itu masih laku digadai. Jangankan di 'kampus hijau', petugas bank pun mau.

"Dulu tanah bapak masih putih, sekarang sudah pink dan bahkan ada yang kuning dan hijau, saya tak tahu kenapa ini bisa terjadi," begitulah orang 'kampus hijau' dan bank itu becakap.  

Orang kampung ini hanya bisa melongo tak mengerti. Di benaknya hanya bisa menyusun warna yang dibilang orang tempat menggadai tadi menjadi susunan pelangi; merah, kuning hijau. 

"Biasanya pelangi itu indah, ini kok kenapa menyusahkan," batinnya melengos. Dia masih tidak paham kalau tanah hasil warisan bapaknya yang cuma selebar sapu tangan itu, telah masuk dalam kategori kawasan hutan! 

Negeriku..., dua hari lalu aku becakap dengan Kepala Desa Petalongan Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Riau.

Dia bilang kalau sertifikat tanah hasil program nasional Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), tak laku lagi di bank lantaran di aplikasi avenza, tanah itu sudah berwarna pink alias Hutan Produksi Konversi (HPK).    

Lima hari lalu, Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) menggelar seminar online. Di sana dibilang bahwa lebih sepertiga desa di wilayah kedaulatanmu, masuk dan bertepian dengan kawasan hutan.

Dalam data Potensi Desa (Podes) yang dihampar di seminar itu disebut bahwa dari 73.709 desa yang ada, 2.037 desa berada dalam kawasan hutan dan 19.247 desa berada di tepian kawasan hutan. 

Malah dalam data final, jumlah itu membengkak, bahwa ada 25.863 desa yang dihuni oleh sekitar 9,2 juta kepala keluarga, berada dalam kawasan hutan. 

Jumlah ini jauh melebihi jumlah penduduk ibu kotamu bernama DKI Jakarta yang justru hanya 10,56 juta jiwa.

Yang membuatku semakin miris, semua orang  kampung itu tak tahu kalau tanahnya sudah berubah warna di peta. 

Celakanya, belakangan, dengan muka tak berdosa, salah satu penyelenggara kedaulatanmu itu bilang bahwa orang kampung itu telah terlanjur berada di dalam kawasan hutan. Alamaaak!

Dan oleh situasi itu, akhir tahun lalu dibikinlah aturan yang bunyi singkatnya begini; yang sudah terlanjur di dalam kawasan hutan, kalau tanahnya maksimal 5 hektar,  langsung dilepas. Itupun kalau tanah itu dikelola sebelum penunjukan kawasan hutan. 

Kalau dikelola setelah penunjukan kawasan hutan, nasib orang kampung itu akan ditentukan kemudian.

Aku, sampai sekarang masih bertanya-tanya dari mana datangnya aturan bahwa orang kampung itu 'hanya boleh' punya tanah maksimal 5 hektar. 

Apakah ini pertanda bahwa orang kampungmu tak boleh menjadi orang kaya, atau biar tanah yang ada leluasa dibagi kepada 'orang kuat' baru, yang butuh tanah?

Sebab kata penyelenggara kedaulatanmu, di tubuhmu, 'orang kuat' boleh mengambil 100 ribu hektar tanah dan bahkan kalau di pulaumu paling timur, boleh 200 ribu hektar. 

Kutulis cerita ini bukan menjadi tanda kalau aku telah menjadi sosok yang suka mengeluh, bukan. Atau aku telah hadir menjadi sosok tukang kritik, sama sekali tidak. 

Tapi aku menulis ini sebagai salah satu alasan kenapa tak kusiapkan gala di depan rumahku untuk mengibarkan bendera kedaulatanmu. 

Bahwa terus terang, saat ini telah terjadi darurat kemanusiaan, jika tidak boleh kubilang darurat kemerdekaan. Alasanku bilang begitu, angka 9,2 juta itu tak sedikit, lho. 

Tidak ada apa-apanya jumlah orang terpapar pandemi itu yang kemudian statusmu sudah dibikin Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bahasa lain dari keadaan darurat. Repot orang dibuatnya.  

Di paragraf akhir cerita ini, aku cuma kembali membayangkan warna peta avenza itu; merah kuning hijau. Pelangi yang menyakitkan!


Abdul Aziz

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :