Berita / Nasional /
51% Kebun Sawit Indonesia Rawan Diserang Ganoderma, GAPKI Siapkan Langkah ini
Ganoderma penyebab penyakit busuk akar sawit. foto: ist.
Jakarta, elaeis.co – Industri sawit nasional tengah menghadapi ancaman serius. Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Dwi Asmono, mengungkapkan bahwa sekitar 51 persen dari total 16,4 juta hektare lahan sawit di Indonesia terindikasi terserang penyakit Ganoderma boninense, jamur patogen penyebab busuk akar yang paling mematikan di sektor ini.
“Kalau kita lihat data, hampir separuh kebun sawit di Indonesia berpotensi terkena Ganoderma. Ini jelas mengkhawatirkan,” ungkap Dwi, Selasa (5/8).
Penyakit ini menjadi salah satu penghambat utama stagnasi produktivitas sawit nasional, meski Indonesia masih menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Ganoderma bukan penyakit baru. Sejak lebih dari dua dekade lalu, para peneliti termasuk R.R.M. Paterson telah menyorotnya sebagai ancaman laten bagi industri sawit di Asia Tenggara. Namun, hingga kini, pengendalian penyakit ini masih belum efektif.
Menurut Dwi, pendekatan yang selama ini diterapkan cenderung sektoral dan tidak terpadu. “Kalau pemainnya dari benih, solusinya benih. Kalau dari fungisida, ya ditangani dengan fungisida. Padahal ini masalah kompleks, bukan hanya soal patogen, tapi juga genetik tanaman dan lingkungan,” jelasnya.
Sebagai respons atas situasi genting ini, GAPKI mengambil langkah strategis dengan mengaktifkan kembali Konsorsium Ganoderma Indonesia, yang sempat terbentuk 15 tahun lalu namun vakum.
Tujuannya, membangun strategi holistik lintas sektor yang menyatukan pelaku industri, peneliti, dan pemerintah. GAPKI juga menggandeng Perhimpunan Fitopatologi Indonesia serta sejumlah lembaga riset dari kalangan anggotanya.
“Kita tidak bisa lagi jalan sendiri-sendiri. Harus satu gerakan yang terkoordinasi. GAPKI ambil peran sentral untuk menyatukan semua pihak,” tegas Dwi.
Kolaborasi ini akan diusulkan ke Kementerian Pertanian agar mendapat dukungan penuh, mengingat urgensi dan skalanya yang nasional.
Dwi menegaskan, pengendalian penyakit tanaman bukan proses instan. Ia mencontohkan kasus Pudrición del cogollo, penyakit mematikan pada kelapa sawit di Amerika Selatan, yang butuh waktu satu abad untuk dikendalikan.
“Indonesia punya pengalaman mengatasi kerentanan tanaman lain. Kita harus optimis dan belajar dari keberhasilan sebelumnya,” pungkasnya.







Komentar Via Facebook :