https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

5 Tahun Produksi Stagnan, Ekspor Minyak Sawit RI Terancam Makin Tertekan

5 Tahun Produksi Stagnan, Ekspor Minyak Sawit RI Terancam Makin Tertekan

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono. Foto: ist.


Jakarta, elaeis.co – Industri kelapa sawit nasional tengah menghadapi persoalan serius. Saat ini permintaan domestik terhadap minyak sawit terus meningkat pesat. Namun di sisi lain, produksi nasional justru stagnan selama lima tahun terakhir. Situasi ini memicu kekhawatiran Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) akan potensi tekanan terhadap ekspor pada 2025.

“Indonesia, sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, menghadapi sebuah paradoks. Produksi kita stagnan selama lima tahun terakhir,” ungkap Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, dalam acara High Level Dialogue on Disruptions and Future Palm Oil Industry yang digelar di Jakarta, Selasa (10/6).

Eddy memaparkan bahwa penyebab utama stagnasi ini adalah banyaknya tanaman sawit tua yang telah melewati usia produktif, yakni lebih dari 25 tahun. Di sisi lain, keterbatasan lahan baru membuat peremajaan dan ekspansi menjadi tantangan besar. Akibatnya, laju pertumbuhan produksi rata-rata tahunan (Average Annual Growth Rate/AAGR) hanya sebesar 0,42% selama periode 2020–2024.

Sementara itu, konsumsi dalam negeri justru melonjak tajam. Menurut data GAPKI, konsumsi minyak sawit domestik meningkat sekitar 7,4% dalam lima tahun terakhir. Lonjakan tertinggi terjadi di sektor oleokimia yang tumbuh hingga 18% selama masa pandemi COVID-19, disusul biodiesel 14,8% dan sektor makanan 3,1%.

“Tahun ini saja, konsumsi sawit domestik diproyeksikan mencapai 26,1 juta ton. Ini jelas semakin menyempitkan ruang bagi ekspor,” sebutnya.

Untuk tahun 2025, GAPKI memperkirakan total produksi minyak sawit Indonesia akan mencapai 53,6 juta ton. Namun, volume ekspor justru diprediksi turun menjadi 27,5 juta ton. 

Angka ini lebih rendah dibanding ekspor tahun 2024 yang mencapai 29,5 juta ton. Penurunan ekspor ini dipicu oleh peningkatan pemakaian dalam negeri, terutama akibat kebijakan mandatori biodiesel pemerintah.

Sebagai catatan, Indonesia telah menerapkan mandatori campuran biodiesel sebesar 30% (B30) sejak 2020. Tahun 2024 naik menjadi B35, dan pada 2025 menjadi B40 dengan proyeksi menuju B50 pada 2026. Kebijakan ini mendongkrak permintaan sawit sebagai bahan baku energi, tetapi sekaligus menekan kuota ekspor ke pasar global.

“Kalau produktivitas tidak kita genjot segera, maka tekanan terhadap ekspor akan terus meningkat. Ini bisa berdampak pada devisa negara dan daya saing kita di pasar global,” Eddy mengingatkan.

Menurutnya, diperlukan langkah strategis dan kolaboratif antara pemerintah dan pelaku industri untuk mendorong replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR), peningkatan produktivitas lahan, serta akselerasi inovasi pertanian berkelanjutan.

“Kita harus keluar dari jebakan stagnasi ini. Kalau tidak, kita akan kesulitan memenuhi dua tuntutan sekaligus: kebutuhan dalam negeri dan permintaan pasar ekspor,” tutupnya.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :