https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

SKT Bukan Bukti Kepemilikan, Petani Sawit Harus Urus Lahan ke BPN

SKT Bukan Bukti Kepemilikan, Petani Sawit Harus Urus Lahan ke BPN


Bogor, elaeis.co – Banyak petani sawit masih menggantungkan pengakuan kepemilikan tanah pada Surat Keterangan Tanah (SKT). 

Padahal, dokumen yang biasanya diterbitkan oleh kepala desa atau lurah ini bukan tanda bukti kepemilikan, melainkan sekadar keterangan siapa yang saat ini menggunakan atau menguasai tanah tersebut.

“SKT itu bukan tanda bukti kepemilikan,” tegas Yagus Suyadi, mantan pejabat Kementerian ATR/BPN, Kamis (27/11).

Ia menjelaskan, SKT hanya bersifat sebagai legalitas administratif bahwa nama yang tercantum adalah pihak yang menguasai atau memanfaatkan tanah, tidak lebih.

Sayangnya, di lapangan banyak yang salah kaprah. SKT sering dianggap sah secara hukum untuk mengklaim kepemilikan tanah, padahal tidak. Bahkan, ada kasus di mana pemegang SKT tidak benar-benar menguasai tanahnya. 

“Kalau ada sengketa atau klaim lain, hukum jelas menegaskan SKT bukan bukti kepemilikan,” tambah Yagus.

Lalu, bagaimana cara mengubah SKT menjadi kepemilikan sah? Kuncinya adalah penguasaan nyata atas tanah. Hal ini diatur dalam Pasal 24 ayat 2 PP 24 Tahun 1997 dan PP 18 Tahun 2021, yang menekankan bahwa pihak yang ingin memiliki hak atas tanah harus menguasai bidang tanah secara itikad baik dan terbuka.

“Itikad baik dan terbuka artinya tanah digunakan sesuai peruntukannya. Kalau untuk pertanian, ya untuk bercocok tanam. Tidak bisa tiba-tiba dibangun rumah atau fasilitas lain yang melanggar tata ruang,” jelas Yagus.

Sejak 2018, Kementerian ATR/BPN aktif menyelenggarakan pendaftaran tanah dari desa ke desa, membentuk konsep desa lengkap. 

Bahkan beberapa kabupaten sudah menjadi kabupaten lengkap, artinya seluruh bidang tanah di wilayah tersebut telah terdaftar secara resmi. Dengan begitu, petani bisa mengurus hak atas tanah dan mendapatkan sertifikat sah secara hukum, bukan sekadar SKT.

Praktisnya, bagi petani sawit, langkah terbaik adalah tidak menunggu masalah datang, tetapi segera mengurus kepemilikan tanah ke BPN. 

Caranya cukup sederhana, siapkan bukti penguasaan tanah, mulai dari bukti penggunaan lahan, riwayat pemanfaatan, hingga batas-batas tanah yang jelas kemudian ajukan hak atas tanah.

“BPN aktif ke lapangan. Mereka melakukan pendaftaran dari desa ke desa. Jadi, kepemilikan tanah bisa diakui hukum dan memberikan kepastian jangka panjang bagi petani,” kata Yagus.

“BPN aktif ke lapangan. Mereka melakukan pendaftaran dari desa ke desa. Jadi, kepemilikan tanah bisa diakui hukum dan memberikan kepastian jangka panjang bagi petani,” kata Yagus.

Langkah ini menjadi krusial mengingat maraknya sengketa lahan dan klaim kawasan hutan. Banyak tanah sawit yang selama puluhan tahun dikelola petani tiba-tiba diklaim masuk kawasan hutan, membuat petani rentan kehilangan lahan. Dengan sertifikat resmi dari BPN, petani punya senjata hukum yang sah untuk melindungi haknya.

Bagi sebagian petani, SKT memang masih dianggap “cukup”. Tapi Yagus menekankan, ini perangkap berbahaya. Hanya dengan sertifikat resmi, tanah benar-benar diakui secara hukum, aman dari klaim sepihak, dan bisa dijadikan agunan jika dibutuhkan modal usaha.

Intinya, SKT itu hanyalah keterangan, bukan kepemilikan. Bagi petani sawit yang ingin tanahnya aman dan diakui hukum, jalan satu-satunya adalah urus hak atas tanah ke BPN, tunjukkan penguasaan nyata, dan patuhi aturan peruntukan lahan. Dengan begitu, tanah yang selama ini menjadi sumber hidup bisa benar-benar menjadi milik sah mereka.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :