Berita / Nasional /
Ribuan Masyarakat Riau Minta Perlindungan Menhan
Salah satu sudut permukan di Toro Jaya terlihat dari udara. foto: ist
Masyarakat sudah bermukim di Toro sebelum kawasan itu ditunjuk menjadi Taman Nasional Tesso Nilo.
Pekanbaru, elaeis.co - Ribuan masyarakat yang ada di Dusun Toro Jaya dan dua dusun di sekitar (Kuala Renangan dan Toro Palembang) Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, kini merasa ketar-ketir.
Ini terjadi setelah dari 13 Mei 2025 lalu, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas-PKH) mendatangi warga di sana. Satgas ini kemudian diboncengi oleh sejumlah militer bersenjata lengkap.
Ragam cerita yang kemudian berpendar di masyarakat, termasuk cerita kalau mereka akan digusur. Potensi semacam ini tentu bakal ada, sebab selama ini, mereka diklaim berada di dalam areal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Kemarin, Kelompok Tani Toro Sawit Karya Mandiri (Poktan TSKM) pun berkirim surat kepada Menteri Pertahanan, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin. Kebetulan lelaki 73 tahun ini juga sebagai Ketua Pengarah Satgas PKH.
Dalam surat setebal 8 halaman yang ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Kapolri, Menteri Kehutanan, Komnas HAM RI, Ombudsman, Ketua DPRD Riau, Gubernur Riau, Kapolda Riau, Ketua DPRD Pelalawan dan Bupati Pelalawan itu, perkumpulan yang beranggotakan lebih dari 600 kepala keluarga petani kelapa sawit ini meminta perlindungan dan solusi.
Sebab menurut Jonson Lumban Gaol, Baharudin dan Rusi Chairus Slamet --- Ketua, Sekretaris Poktan TSKM dan Kepala Desa Lubung Kembang Bunga --- yang meneken surat itu, klaim tadi tidak sepenuhnya benar.
Buktinya, anggota Poktan TSKM adalah masyarakat yang berdatangan ke kawasan Toro pada rentang waktu 2003-2010. Kebanyakan dari mereka membeli kebun-kebun karet yang rata-rata kurang produktif, milik masyarakat tempatan.
Waktu itu belum ada pemerintahan dusun di sana, masih sebatas RT dan RW. Orang-orang hanya mengenal kawasan itu dengan sebutan Toro atau Onangan.
Dusun Toro Jaya dan Dusun Kuala Renangan sendiri baru terbentuk pada tahun 2014. Saat ini jumlah penduduk masing-masing dusun adalah 3.544 jiwa dan 3.804 jiwa. Dusun Toro Palembang yang kini berpenduduk 2.163 jiwa, baru mekar dari Dusun Toro Jaya pada 2021.
"Fakta yang kami dapati, hingga tahun 2009, Toro masih berstatus Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Ada beberapa perusahaan HPH di daerah ini; Dwi Marta, Inhutani, Nanjak Makmur dan Siak Raya. HPH Nanjak Makmur sendiri baru berakhir pada 27 Maret 2009, sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 124/Menhut-II/2009," cerita Jonson dalam surat itu, yang didapat elaeis.co, tadi pagi.
Selengkapnya Surat Permohonan Kelompok Tani Toro Sawit Karya Mandiri kepada Menhan
Nah, pada 15 Oktober 2009, areal eks HPH tadi kemudian ditunjuk menjadi Taman Nasional Tesso Nilo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 663/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Fungsi Sebahagian HPT di Kelompok Hutan Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan. Luasnya sekitar 44.492 hektar
Lantas, Poktan TSKM kata Jonson, menemukan pula Surat Keputusan Tata Batas Defenitif Kawasan Hutan TNTN berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor: Kpts/662/V/2011 Tanggal 5 Mei 2011.
Lebih dari tiga tahun kemudian, lahir pula Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: Sk.6588/MenhutVII/KUH/2014 Tanggal 28 Oktober 2014 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Luasnya 81.793 hektar.
"Jadi, areal yang kami tempati sekarang adalah areal perluasan TNTN. Bukan TNTN pertama yang ditunjuk pada tahun 2004. Luasnya 38.576 hektar. Di daerah timur, di dua kabupaten; Pelalawan dan Indragiri Hulu," cerita Jonson.
Yang menjadi pertanyaan Jonson kemudian, kenapa dalam proses penataan batas areal perluasan tadi, masyarakat tidak dilibatkan?
Sebab bila merujuk pada kawasan hutan, hingga tahun 2016, status kawasan hutan di Riau masih penunjukan. Ini sesuai dengan SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 Tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau.
"Artinya, kalau kemudian kawasan hutan itu akan dikukuhkan, mestinya kami dilibat. Sebab sesuai pasal 15 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, proses pengukuhan dilakukan dalam 4 tahapan; Penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan. Dalam proses penataan batas inilah kami dilibatkan. Hak-hak kami dikeluarkan dari kawasan hutan," ujarnya.
Proses rinci terkait ini menurut Jonson telah diatur dalam ayat 2 huruf c pasal 19 dan ayat 4 huruf b pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan.
Adapun isi ayat 2 huruf c itu adalah; (2) Tahapan pelaksanaan penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan.
Sementara isi ayat 4 huruf b pasal 20 itu adalah; (4) Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain bertugas: b. menyelesaikan masalah-masalah: 1. hak-hak atas lahan/tanah disepanjang trayek batas; 2. hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan.
Malah pada pasal 22 ayat ayat 2 PP 44 Tahun 2004 itu, hak-hak masyarakat semakin terlindungi. Isinya begini; Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.
Sayangnya kata Jonson, aturan di atas tidak dijalankan. Larangan tegas agar masyarakat tidak masuk ke areal itu juga tidak ada.
"Kami justru terbiarkan terjebak di dalam TNTN. Yang membuat kami merasa sangat miris, kami malah menjadi tertuduh sebagai perambah TNTN. Perusak habitat flora dan fauna. Kalau dari dulu ada larangan tegas, nggak mungkin kami datang ke sini," katanya.
Sekarang kata Jonson, masyarakat sudah ribuan di sana. Bila pemerintah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mendirikan perkampungan baru melalui program transmigrasi demi kesejahteraan rakyat, mereka justru telah membangun perkampungan itu dengan keringat dan darah mereka sendiri.
"Kami mohon perlindungan kepada Bapak Menteri Pertahanan. Mohon dikaji lagi, dicek lagi tentang status kawasan hutan dan TNTN ini. Kami bukan perambah," pinta Jonson.
"Sebagai rakyat, sebagai warga negara, pilu rasanya hati kami ketika kemandirian hidup yang sudah kami jalani selama bertahun-tahun dan bahkan berpuluh tahun ini, akan berakhir dengan penggusuran. Tak terbayang oleh kami akan kemana bila kami kemudian akan digusur. Tak terbayang masa depan anak-anak kami nanti akan seperti apa. Sebab tak ada tempat tujuan kami. Toro Jaya telah menjadi kampung kami satu-satunya," tambahnya.







Komentar Via Facebook :