CLOSE ADS
CLOSE ADS
Berita / Pojok /

Techno Imperium, Peradaban Utopis?

Techno Imperium, Peradaban Utopis?

Saiman Pakpahan. foto: ist


Overview 
Tulisan ini dipicu lahir oleh pertemuan yang dinisiasi oleh tsabitah syndicate, yang menurut saya hadir tiba-tiba untuk mengajak paksa civitas akademika, terutama (Fisip) Universitas Riau untuk terlibat didalam pemikiran bebas tentang peradaban. 

Aktor intelektual terhadap gelaran akademis ini, tentu tidak jauh dari sosok filsuf, kritis dan fenomenolog, (baca; Yusmar Yusuf). 

Jujur, perdebatan, pertengkaran dan adu kemampuan intelektual pada forum tersebut membawa semua yang hadir untuk berfikir melampaui batas, karena forum yang diciptakan sengaja untuk menggali kegilaan berfikir untuk saling bertanya, mempertahankan dan mempertentangkan pikiran, terutama dari rentang sejarah filsafati peradaban, sampai pada usaha meyakini bahwa benturan peradaban akan berakhir dengan ‘kematian’ perdaban. 

Lalu, entitas apa yang menggantikan peradaban?

Artificial intelligence, dehuman civilizations
Titik ini menjadi crusial dalam forum yang digelar beberapa hari yang lalu, karena narasumber yang didatangkan oleh tokoh di balik layar berusaha menjadikan filsafat teknologi sebagai issue yang ‘harus’ dibincangkan dalam kerangka memberikan argumentasi kebenaran terhadap artificaial intelligence tersebut. 

Artificial intelligence, secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya yang dilakukan oleh suatu system yang bisa diatur dalam konteks ilmiah dan juga sering disebut kecerdasan entitas ilmiah. 

Mengapa, apa dan bagaimana artificial intelligence (AI) diyakini mampu menggantikan manusia mengerjakan banyak hal. Secara sederhana, penulis ingin simplifikasi AI dalam beberapa jenis dan tahapan. 

Baca juga: Kecerdasan Bisa Saja Artifisial, Tapi Kegagapan Kita Tidak

Tahapan paling rendah dari sebuah AI adalah Artifical Narrow Inteligence (ANI). AI ditahapan dan jenis ini masih bekerja pada pekerjaan yang homogen dan terbatas, tetapi hasil kerja dari ANI ini sangat berkualitas. 

Tahapan berikutnya dalam AI adalah Artificial General Inteligence, (AGI). Aritificial Inteligence pada tahapan ini, diharapkan mampu menyerupai (imitasi) system kognitif manusia, dan mampu bekerja setara manusia dalam leveling kognitif. 

AI dalam tahapan ini menghendaki ribuan artificial narrow inteligence untuk terintegrasi dan inline satu AI dengan lainnya untuk bekerja sesuai dengan aktifitas dari lahir sampai kematian manusia. 

Tahapan terkahir dari sebuah AI adalah Artificial Super Intelligence (ASI). Pada tahapan ini, AI sudah setara dengan manusia dalam konteks berfikir rasional, kognitif dan bahkan mampu menemukan temuan temuan baru. 

Narasi di atas, terutama tentang tahapan dan jenis AI di dunia, baru sebatas ANI, yang mengerjakan pekerjaan manusia secara singular, bekerja dalam beberapa aspek, dan digerakkan oleh kecerdasan otak manusia. 

Manusia harus memiliki kecerdasan sebelum kecerdasan tersebut disuntik kepada entitas AI, yang bekerja secara system, mekanis dan robotic

Tahapan selanjutnya (dua tahapan berikutnya), menanti terobosan dan inovasi manusia untuk menggantikan manusia. Akankan kehidupan diatas muka bumi ini pada akhirnya akan diserahkan manusia kepada kecerdasan buatannya sendiri?

Probability 
Dalam imajinasi penggiat AI, mereka yakin bahwa kedaulatan Negara, individu, kelompok, masyarakat dan semua yang memiliki aroma human, akan digantikan oleh AI dengan dalil keterbatasan manusia dan efisiensi kerja AI. 

Dalam kapasitas kerja, (ani), kemungkinan AI berkembang cukup pesat, terutama masuk dalam pusat-pusat pertumbuhan peradaban yang berbetuk politeknik. 

Kejuaraan dan festival kerobotan didunia mulai di gelar, sebagai upaya membentuk struktur ide tentang AI. Fenomena ini memberikan harapan, namun sejauh reviu literature yang saya lakukan, AI masih sebatas artificial Narrow Inteligence, dengan mengerjakan satu pekerjaan spesifik, sesuai dengan algoritma yang diinjeksikan kepadanya. 

Kita mengerti mengapa AI menjadi pahlawan baru bagi ‘sekelompok’ orang, karena peran AI dalam mengatasi dan membantu wabah pandemic di WUHAN beberapa waktu terakhir. 

Namun, kita belum mendapat kabar tentang bagaimana keyakinan para ilmuan terhadap ‘unduhan’ keberhasilan AI dalam konteks ke ibu an dan air mata. Butuh kegilaan lebih lanjut dalam falsafah berfikir untuk menerobos masuk dalam rumah peradaban manusia, yang sudah dirintis. 

Sama halnya ketika suatu waktu, diantara abad keempat dan keenam sebelum Masehi (SM), terjadi perkembangan luar biasa disejumlah besar tempat di muka bumi, (wilayah di selatan, di utara, dan timur Mediterania, di Cina, India dan beberapa wilayah lainnya), para pemikir mulai menantang dan melampaui kepercayan-kepercayaan religious, mitologi, dan folklore dalam masyarakatnya yang sudah mapan. 

Pemikiran mereka makin abstrak, pertanyaan mereka makin menyelidik, jawaban mereka makin ambisius, makin spekulatif dan makin memicu kemarahan.  Akankah filsuf techno akan mengulang sejarah?


Saiman pakpahan
Dosen fisip Universitas Riau, 

Komentar Via Facebook :