https://www.elaeis.co

Berita / Iptek /

Semangat Mengubah Nama Crude Palm Oil Menjadi Degummed Palm Mesocarp Oil!

Semangat Mengubah Nama Crude Palm Oil Menjadi Degummed Palm Mesocarp Oil!

Ketua Umum DMSI, Sahat Sinaga saat meninjau lokasi pembangunan PaDePFO di Desa Segati Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, dua hari lalu. Foto: Aziz


Pekanbaru, elaeis.co - 102 tahun. Persis sejak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama hadir di Itam Ulu Sumatera Utara (Sumut) pada 1922 silam. Cukuplah itu menjadi 'siksaan' bagi perjalanan industri sawit Nusantara. 

Sebab sejak saat itu, Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit diolah pakai teknologi wet process. Teknologi yang menghasilkan emisi karbon tinggi dan menamai minyak sawit itu dengan Crude Palm Oil (CPO)

Maka sekarang, Indonesia harus menapaki sejarah baru atas minyak sawitnya itu. Inilah yang terus digembar-gemborkan oleh Sahat Sinaga. Lelaki 79 tahun yang kini menjabat Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI). 

Bertandang ke Kantor Bupati Pelalawan, Riau, dua hari lalu, menjadi bagian dari misi itu. Kepada pemerintah di sana, ayah tiga anak ini mengenalkan apa yang disebut dengan Pasteurization. 

Baca juga: Digagas DMSI, Pelalawan Bakal Punya Pabrik Sawit Ramah Lingkungan. Ini Sederet Kelebihannya

Sebuah proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) dengan teknologi dry processing tanpa steam. Sahat menyebutnya teknologi Pasteurizing & Degumming Palm Fruit Oil (PaDePFO).

Sebuah proses yang me re-launching Crude Palm Oil (CPO) menjadi Degummed Palm Mesocarp Oil (DPMO). "Ini sama seperti Canada yang me re-launcing Rapeseed menjadi Canola (Canadian Oil)," tegasnya. 

Dan Sahat mengatakan seperti itu lantaran sesungguhnya Indonesia sudah saatnya mandiri dalam pengembangan kualitas minyak sawit nya, meninggalkan nama sawit jajahan yang merendahkan kualitas sawit dengan mencantumkan kata “Crude” di depan . 

"Inilah istilah yang selama ini mendiskreditkan kualitas  minyak sawit yang disengaja diistilahkan (perlu dikaji lebih lanjut)  untuk merendahkan nilai dari minyak sawit dan celakanya  menghasilkan emisi karbon tinggi pula dalam mengolah TBS menjadi CPO," ujarnya. 

Padahal kalau dikelola dengan baik, menjadi DPMO, minyak sawit menghasilkan segudang manfaat dan ramah lingkungan pula. 

Lebih detil Sahat cerita, teknologi PaDePFO tadi dipastikan menghasilkan karakter minyak sawit yang jauh bernilai tinggi  ketimbang CPO. Yang jelas, DMPO stabil terhadap oksidasi.

"Lalu kandungan mikro nutrisinya berkisar 94-98 persen tertinggal didalam DPMO. Emisi karbon yang dihasilkan 78 persen lebih rendah ketimbang yang dihasilkan oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) warisan penjajah itu," terangnya.

Lantaran PaDePFO tidak pakai steam --- uap untuk melunakkan mesocarp --- otomatis tidak akan menghasilkan Palm Oil Mill Effluent (POME). 

Itu pula makanya teknologi ini tidak menggunakan air dalam prosesnya, jadinya, pabriknya bisa dibangun di mana saja. 

"Lahan untuk lokasi pabrik cuma butuh sekitar 2,5 hektar. Kapasitas produksinya bisa lebih kecil; 10-20 ton TBS per jam. Jadi bisa dibangun dekat kebun rakyat biar ongkos angkut TBS nya rendah," katanya. 

Oleh semua kelebihan inilah makanya Sahat mengatakan bahwa inilah masanya Indonesia merubah loyang menjadi emas. "Memang selama ini sesungguhnya sawit itu adalah emas, tapi kita terus dininabobokkan agar sawit itu terus-terusan seolah-olah hanya loyang," ujarnya.


 

Komentar Via Facebook :