Berita / Lipsus /
Selamat Datang di 'Jebakan Batman' SK DATIN
Salah satu SK DATIN yang dikeluarkan oleh KLHK. foto. ist
Jakarta, elaeis.co - Kalau menyimak apa yang dibilang oleh Dr. Sadino, Pakar Hukum Kehutanan yang juga pengajar ilmu hukum di Universitas Al-Azhar Jakarta ini, nasib para pelaku sawit --- baik perorangan maupun perusahaan --- yang lahan kebunnya diklaim oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berada dalam kawasan hutan, nampaknya makin runyam.
Ini terkait soal Surat Keputusan Data dan Informasi (SK-DATIN) kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan yang diteken Menteri LHK itu, yang sampai saat ini sudah 15 SK.
Jutaan hektar kebun kelapa sawit yang diklaim dalam kawasan hutan tertera di sana. Ada yang milik perorangan, kelompok, koperasi, maupun perusahaan.
Nah, mereka yang sudah masuk dalam SK DATIN ini, ternyata seolah-olah masuk dalam 'jebakan batman' alias tipu muslihat.
Dibilang begitu lantaran kebanyakan mereka yang masuk dalam DATIN itu, sesungguhnya sama sekali tidak tahu kalau lahannya berada di dalam kawasan hutan.
Pertama, lantaran sejak awal menggarap lahan itu, mereka tidak menemukan tanda-tanda, patok-patok batas maupun pamplet yang menandakan lahan itu kawasan hutan.
Kedua, tidak ada larangan dari otoritas kehutanan saat pertama kali lahan itu digarap hingga kemudian kelapa sawit tumbuh subur.
Lima tahun belakanganlah baru bahasa kawasan hutan ini viral. Petugas KLHK datang dan menyodorkan peta ragam warna dalam format digital dan mengatakan; kebun sawit Anda berada di dalam kawasan hutan.
Bahasa kawasan hutan viral, oknum-oknum pun mulai bergentayangan memanfaatkan klaim kawasan hutan itu untuk 'memalak' pemilik kebun. Ada yang cuma sekali palak, ada pula yang jadi 'ATM Berjalan', mungkin hingga sekarang.
Uniknya, tak sedikit kebun-kebun sawit tua, kebun sawit bersertifikat hak milik maupun bersertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang bahkan sudah ada sebelum UU 41 tahun 1999 lahir, masuk dalam SK DATIN itu.
Entah betul hamparan yang dibilang 'itu kawasan hutan' tadi sesuai aturan undang-undang atau tidak, hanya petugas itu yang tahu. Maklum, tak sedikit pula mereka yang sudah masuk dalam SK DATIN tadi, buta akan hukum perhutanan.
Kalau kemudian di antara pemilik lahan ada yang paham lalu bertanya mana bukti-bukti kawasan hutan itu --- sesuai undang-undang khususnya pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan --- sampai hari ini belum satupun petugas KLHK bisa menunjukkan.
Baca juga: Dan 'Masa Depan' Warga Eks Transmigrasi di Rohil itu pun Dirampas Klaim Kawasan Hutan
Lantas, kenapa yang sudah ada di SK DATIN tadi dibilang masuk jebakan batman? Begini; katakanlah si Pulan. Begitu lahannya dibilang masuk dalam kawasan hutan, dia tidak lagi punya pilihan selain pasrah atas tudingan itu meski --- lagi-lagi --- tak ada bukti-bukti autentik lahannya benar-benar berada di dalam kawasan hutan kecuali peta digital ragam warna tadi.
Dalam kepasrahan itu, KLHK menongolkan dua pasal pada UUCK --- 110A dan 110B --- dan PP 24 tahun 2021 untuk mengampuni kesalahan si pulan yang seolah-olah telah sah dan meyakinkan menyerobot kawasan hutan.
Dua pasal ini sama-sama meminta denda yang besar. Bedanya, kalau ampunannya pakai pasal 110B, lahan tidak menjadi hak milik si Pulan, tapi hanya boleh dikuasai sampai kebun sawitnya ko'it. Selama kebun sawit dikelola, si Pulan musti membayar PNBP setiap tahun.
Nah, pola-pola semacam inilah yang menurut Sadino adalah pola otoriter dan intimidasi itu dan menjadi pelanggaran tata pemerintahan yang baik.
Menurut lelaki 57 tahun ini, DATIN itu tidak melalui proses inventarisasi dan verifikasi yang fair sebelum dimasukkan dalam SK DATIN.
KLHK tidak mau tahu dan tidak membuka ruang bagi si Pulan untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan lahan kebunnya.
Sementara kata pendiri dan Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Publik ini, yang sudah masuk SK DATIN itu, sudah berefek hukum. Sudah dianggap pelanggar hukum.
"Masak masyarakat transmigran dan masyarakat lokal yang sudah mempunyai hak atas tanah seperti SHM, hak garap, hak kelola, hak adat, tempat tinggal yang turun temurun dianggap pelanggar hukum dan harus ikut skema 110A-110B yang berujung pada PP 24 tahun 2021 itu?" ayah empat anak ini tak habis pikir.
Bagi Sadino, skema PP 24 telah menabrak dan mengabaikan hukum-hukum lain yang berlaku di Indonesia yang sifatnya universal.
Menurut dia, skema PP 24 itu cacat lahir dan menjadi turunan UUCK yang menyimpang. "Skema PP 24 ini telah melanjutkan sikap otoriter dan menjadi pelanggaran tata kelola pemerintahan yang baik lantaran hanya 'penunjukan' kawasan hutan dijadikan sebagai dasar utamanya," tegas Sadino.
Tak berlebihan Sadino mengatakan begitu. Di Riau saja misalnya, modal SK 903 tahun 2016, lebih dari 1 juta hektar kebun sawit di Riau, di klaim kawasan hutan. Padahal banyak diantaranya sudah bersertifikat hak milik dan HGU.







Komentar Via Facebook :