https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Program Biodiesel B40 Berpotensi Bikin Minyak Goreng Langka

Program Biodiesel B40 Berpotensi Bikin Minyak Goreng Langka

Biodiesel B40 berbahan baku sawit. foto: Kemen ESDM


Jakarta, elaeis.co - Implementasi biodiesel B40 yang dimulai awal tahun ini dinilai berisiko tinggi menyebabkan defisit minyak sawit nasional yang akhirnya berdampak pada pasokan untuk pangan seperti minyak goreng.

Pasalnya, produksi minyak sawit nasional pada tahun 2025 diperkirakan turun sebesar 5,1% akibat dari penurunan produktivitas lahan karena sebagian besar tanaman sawit sudah masuk usia non produktif atau perlu diremajakan.

Di sisi lain permintaan domestik sawit akan tinggi melihat pengembangan biodiesel serta program nasional lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

Kalangan aktivis maupun praktisi mewanti-wanti, jangan sampai rencana pengembangan biodiesel justru diselesaikan dengan cara perluasan lahan sawit yang berujung pada peningkatan angka deforestasi. 

Catatan sejumlah lembaga masyarakat, pencampuran minyak sawit 40% (B40) membutuhkan perluasan lahan sawit mencapai 138 ribu hektar. Padahal ada solusi lain yang bisa dilakukan pemerintah tanpa perlu membuka lahan baru.

“Penerapan B40 akan memicu peningkatan permintaan minyak sawit atau CPO yang lebih tinggi di dalam negeri, apalagi di saat yang sama pemerintah memberlakukan program MBG yang memicu peningkatan kebutuhan CPO untuk kebutuhan pangan di dalam negeri. Kami menghitung, proyeksi kebutuhan bahan baku dari CPO untuk penerapan B40 mencapai 14,8 juta Metrik Ton (MT) atau naik sebesar 31,3% dari 2024,” papar Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dalam keterangan yang diterima elaeis.co, Senin (17/2).

Dia melanjutkan, penerapan B40 akan meningkatkan kuota biodiesel nasional menjadi 15,6 juta kiloliter (kl) dari sebelumnya 12,98 juta kl dalam Program B35. SPKS menilai bahwa kebijakan kebijakan mandatori biodiesel B40 ini berpotensi menyebabkan defisit minyak sawit nasional. Proyeksi penurunan produksi dan peningkatan kebutuhan domestik akan menyebabkan Indonesia kekurangan sebesar 1,04 juta MT minyak sawit.

“Oleh karena itu, pemerintah perlu mewaspadai berbagai kebijakan yang diambil agar ada keseimbangan sehingga ironi kelangkaan minyak goreng pada awal tahun 2022 yang diikuti rendahnya harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani akibat kebijakan pelarangan ekspor CPO tidak berulang kembali di tahun 2025,” tegasnya.

 

Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri, pemerintah melakukan pengetatan ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Ol/UCO) sejak 8 Januari 2025. Langkah itu dilakukan karena volume ekspor POME dan HAPOR lebih tinggi dari volume ekspor CPO pada 2023 dan 2024 sehingga dinilai tidak wajar. 

Namun kebijakan pengetatan ekspor POME, HAPOR dan UCO ini dinilai tidak menyelesaikan akar persoalan defisit minyak sawit untuk kebutuhan domestik. Kebijakan tersebut justru akan berdampak buruk bagi petani sawit swadaya, karena pasokan bahan baku pabrik kelapa sawit (PKS) brondolan juga berasal dari petani swadaya.

“Dari segi produksi dan kualitas, produksi CPO dari bahan baku yang dipasok petani swadaya potensial dapat memenuhi kebutuhan domestik terutama produksi biodiesel nasional. Karena itu pemerintah perlu mengatur rantai pasok dari petani swadaya termasuk pasokan brondolan tandan buah segar dari petani yang diolah pabrik kelapa sawit. Langkah ini penting untuk memastikan jaminan bahan baku untuk biodiesel dan di sisi lain menguntungkan petani swadaya yang selama ini tersingkir dalam rantai pasok CPO untuk industri hilir, termasuk biodiesel,” kata Andri.

Menurutnya, model rantai pasok industri biodiesel saat ini tidak memungkinkan petani sawit swadaya mendapatkan nilai tambah. Rantai pasok biodiesel masih bergantung pada korporasi besar, anak perusahaannya serta perusahaan pihak ketiga yang menjadi pemasok. Belum ada kemitraan antara perusahaan supplier biodiesel dengan koperasi milik petani swadaya.

Padahal Indonesia memiliki potensi sekitar 5,31 juta hektar perkebunan sawit swadaya. Dengan asumsi produktivitas CPO/ha dalam setahun sebesar 2,8 MT, maka potensi produksi CPO dapat mencapai 14,87 juta MT atau 15,94 juta kl biodiesel. Potensi tersebut dapat menutupi kebutuhan produksi biodiesel B40. Potensi terbesar dari perkebunan sawit swadaya berada di Sumatera dan Kalimantan.

Termasuk potensi minyak jelantah (UCO) yang tidak tergarap di dalam negeri, bisa menjadi alternatif untuk biodiesel. Sejauh ini penggunaan UCO belum diminati dan tidak didukung oleh subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk pengembangan biodiesel.

“Pelibatan petani dalam rantai pasok dan alternatif UCO adalah solusi menjawab tantangan defisit minyak sawit untuk produksi biodiesel domestik,” tegas dia.

 

Defisit minyak sawit juga memunculkan kekhawatiran dari sisi hilir industri sawit dalam negeri. Polemik kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada 2022-2023 dikhawatirkan terulang. Kondisi terkini bahwa Harga Eceran Tetap (HET) MINYAKITA yang merupakan produk minyak goreng subsidi pemerintah juga mengalami lonjakan kenaikan yang cukup tinggi dari yang awalnya seharga Rp 14.000 naik menjadi Rp 18.000 pada November 2024.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan atas kondisi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng adalah bagaimana aliran distribusi CPO ini terjadi. Jika kondisi menghadapkan pada pilihan antara pangan (minyak goreng) dan energi (biodiesel), maka stok akan selalu condong bergerak untuk kebutuhan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi dalam hal ini adalah biodiesel.

“Akar permasalahannya adalah penetapan 'dua harga' CPO yang menciptakan kecenderungan penjualan produk untuk kepentingan biodiesel. Selain itu belum adanya pengaturan yang jelas antara CPO untuk kebutuhan pangan dan energi juga semakin meniscayakan adanya kompetisi antara keduanya (pangan vs energi),” timpal Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch.

Merujuk pada hasil studi Sawit Watch, Satya Bumi dan Koalisi Transisi Bersih dalam Buku “Prahara Minyak Goreng: Dampak Kebijakan Bahan Bakar Nabati terhadap Pasokan Minyak Goreng,” bahwa hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengatasi polemik minyak goreng di antaranya, mengatur pola konsumsi CPO guna membenahi tata kelola industri minyak goreng; evaluasi dan pengawasan sistem distribusi minyak goreng; menjaga kestabilan dalam penetapan HET minyak goreng; serta dalam kerangka yang lebih besar pengaturan kebijakan dari industri sawit dari hulu ke hilir. Serta reforma aset bagi petani sawit rakyat melalui kepemilikan pabrik sawit dan pabrik minyak goreng skala mikro.

“Intensifikasi sawit perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sawit dalam negeri, bukan dengan pembukaan hutan demi lahan baru sawit (ekstensifikasi) karena bertolak belakang dengan semangat penurunan emisi. Jangan sampai B40 kembali menciptakan polemik kelangkaan dan kenaikan harga migor yang terulang di 2025,” tegas Achmad.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :