Berita / Dewandaru /
Pada Kemana Politisi Pertanianku?
Wayan Supadno bersama Paidi. foto: ist
Ilmu hikmah...
Sungguh gembira hati saya, tat kala berkunjung ke lokasi industri agro, pengolah hasil pertanian, milik beberapa anak muda kita. Di antaranya milik Mas Paidi dan Mas Rio Erlangga.
Mas Rio Erlangga, 4 tahun silam bukan siapa-siapa, datang ke rumah saya di Cibubur lengkap dengan pakaian seragam di tempat dia bekerja sebagai karyawan. Minta saran masukan dengan polosnya.
Setelah itu kontan berbuat nyata, jadi pengepul buah segar hasil para petani. Dikemas rapi siap jual. Dia juga sekaligus jadi supplier beberapa toko buah segar dan pabrik industri pengolah hasil pertanian, utamanya buah tropis.
Dua tahun lalu, dia mengubah bentuk usaha makin inovatif. Sewa ruko sekitar 1 tahun untuk melakukan ekstrak buah segar, dikemas apik lengkap dengan narasi edukatif.
Permintaan pasar meledak. Dia sewa gudang besar di Cileungsi Bogor karena digedung lama tidak tertampung lagi.
Sekarang usaha itu semakin dahsyat, di kawasan industri Jababeka Cikarang pula. Hulu tetap dibangun sebagai inti sumber bahan bakunya, ratusan hektar kebun pisang dan buah lainnya. Petani plasmanya juga banyak. Omsetnya milyaran rupiah per bulannya.
Mas Paidi, Sang Legendaris Porang Indonesia. Domisili di Madiun. Karenanya hingga diundang jadi tamu khusus Kick Andy dan acara Hitam Putih oleh Deddy Corbuzier di TV Swasta. Ratusan orang karyawannnya. Ribuan orang mitra petaninya.
Mas Paidi pemilik PT Paidi Indo Porang. Minimal Rp600 juta per bulan untuk gajian karyawannya. Tahun 2021 proyek penanaman porang di atas Rp300 milyar tersebar di banyak wilayah. Konsisten membangun industri olahan dan gudangnya tetap di kampungnya.
Kisah nyata 2 orang anak muda ini, contoh konkret yang harus diperbanyak di Indonesia. Agar terbangun industri agro di pedesaan sebagai bisnis ruas hilir.
Hanya butuh lahan 2 hektar tapi bisa menampung karyawan ratusan orang dan menampung hasil panen ribuan petani.
Ekonomi bergerak karenanya. Kalaupun Mas Paidi "joint eksport" bukan bentuk bahan mentah, tapi sudah setengah jadi.
Mas Rio, kalaupun sekarang telah terwujud membendung impor ekstrak buah tropis, sudah dapat nilai tambah besar sekali.
Kesemuanya di atas pemain ruas hilir, yang belum banyak dilakukan oleh masyarakat luas. Padahal bahan baku berlimpah, peluang besar terbuka menganga.
Baca juga: Cara Memilih Mitra Usaha
Ini yang mestinya jadi perhatian serius para politisi kita. Utamanya politisi pertanian yang merupakan "pengkaji ulang" kondisi makro pertanian sekaligus arsitekturnya.
Agar hadir cipta kondisi supaya iklim usaha ruas hilir yang merangsang terlahirnya banyak 'Mas Rio' dan 'Mas Paidi' guna menghambat penyempitan lahan karena bagi warisan, kepastian pasar, ekonomi desa bergerak, lapangan kerja tersedia di desa. Desa bukan terus jadi lumbung kemiskinan.
Para politisi pertanian hendaknya bukan hanya membahas hulu di lahan saja. Atau bahkan hanya itu-itu saja yang dibahas; pupuk kimia subsidi yang "sangat tidak edukatif". Detail teknis, mikro sekali.
Persis, ibarat mau menuntaskan pengukuran kebun skala luas, tapi hanya memakai "penggaris anak SD" bukan memakai GPS misalnya. Lucu sekali.
Kita harus berani ksatria mencari pembanding ke negara lain. Misal Malaysia yang nilai devisanya 1,5 kali lipatnya Indonesia dalam luasan sama. Misal pada sawit dan karet. Karena ruas hilir telah digarap serius oleh Malaysia.








Komentar Via Facebook :