Berita / Papua /
Kerja Berat Tiap Hari, Pekerja Sawit Mimika Merasa Terjebak Sistem Target
Timika, elaeis.co – Di balik hamparan hijau kebun kelapa sawit yang terlihat rapi dari kejauhan, tersimpan cerita getir para pekerja di lapangan. Setiap hari, mereka bergulat dengan panas, lumpur, dan tuntutan target yang tak kenal ampun.
Kerja berat, tapi bayaran belum tentu sepadan. Itulah potret yang mencuat dalam diskusi yang diungkapkan Ketua Komunitas Pemuda Kei (KPK) Timika, Edoardus Rahawadan.
Menurut Edoardus, sistem kerja di perkebunan sawit di Kabupaten Mimika membuat pekerja seolah berlari di treadmill yang tak pernah berhenti.
Upah ditentukan dari jumlah pohon yang berhasil dibersihkan dan dirawat. Kedengarannya sederhana, tapi di lapangan ceritanya jauh lebih rumit. Tubuh dipaksa kuat, stamina diperas habis, sementara target harian sering kali sulit dicapai.
“Kalau target nggak terpenuhi, bayaran langsung turun. Padahal kerjanya jelas capek, bersih-bersih dan rawat pohon itu bukan pekerjaan ringan,” kata Edoardus. Kalimat itu seperti alarm keras yang membangunkan kenyataan pahit: kerja keras belum tentu berujung pada penghasilan layak.
Di bawah terik matahari Papua yang menyengat, para pekerja harus menembus semak, mengangkat alat, membersihkan gulma, dan memastikan pohon sawit tetap terawat. Setiap ayunan parang dan setiap tetes keringat seakan dihitung dengan angka. Target menjadi raja, sementara kondisi fisik manusia kerap diabaikan.
Situasi makin terasa berat ketika pendapatan harian jadi tak menentu. Hari ini dapat cukup, besok bisa anjlok. Fluktuasi upah ini, kata Edoardus, menjadi keluhan klasik yang terus berulang. Seperti ombak, naik-turun tanpa kepastian, membuat pekerja sulit merencanakan kebutuhan hidup.
Tak berhenti di situ, Edoardus juga menyoroti janji perusahaan soal upah dan stabilitas kerja yang disebut-sebut belum sepenuhnya ditepati. Janji yang dulu terdengar manis, kini terasa menggantung di udara. “Harapan kami sebenarnya sederhana. Janji ditepati, kompensasi adil. Itu saja,” ujarnya.
Kekecewaan itu akhirnya berubah menjadi protes. Edoardus, sebagai Ketua Pemuda di Timika, secara terbuka menyuarakan keberatan terhadap PT Belavita, perusahaan yang sebelumnya dikenal sebagai PT PAL. Protes ini bukan sekadar soal upah, tapi juga menyentuh kekhawatiran lebih luas: dampak lingkungan dan ketenagakerjaan yang dinilai luput dari perhatian serius.
Ia juga menyinggung komitmen perusahaan yang katanya akan memprioritaskan tenaga kerja Orang Asli Papua (OAP). Janji itu, menurutnya, masih menyisakan tanda tanya besar di lapangan. Antara ucapan dan kenyataan, jaraknya terasa jauh. Seperti bayangan di senja hari, terlihat tapi tak bisa digenggam.
Isu ini pun menjadi bara yang terus menyala di tengah masyarakat Mimika. Para pekerja merasa terjebak dalam sistem target yang menekan, sementara suara mereka sering kali kalah oleh kepentingan produksi. Di satu sisi, sawit dituntut terus tumbuh dan menguntungkan. Di sisi lain, manusia di baliknya justru merasa diperas.
Cerita ini bukan sekadar keluhan. Ini adalah potret kerja berat yang menuntut perhatian. Karena di balik setiap pohon sawit yang berdiri tegak, ada tenaga manusia yang berharap keadilan tak sekadar janji, tapi benar-benar terasa nyata.







Komentar Via Facebook :