Berita / Pojok /
Jering
L.N. Firdaus. Foto: Dok. Pribadi
Pesing kamar mandi dibuatnya, melolong-lolong menahan sakit payah kencing dibuatnya, berdarah-darah air kencing akibat luka tikaman kristal senyawa asam (Oksalat) yang dikandungnya, tapi, 'wangi' pitih (uang) hasil penjualannya.
Berpinggan-pinggan (piring) nasi batambuah (nambah) kala menikmatinya, berderup-derup bunyi kunyahan keping biji yang masih muda, kelat-kelat sedap dan renyah kerupuknya. Apa lagi kalau bukan Jering alias Jengkol namanya.
Waktu ku kecil, orang sekampung menyebutnya Jering. Sebab itulah agaknya nama latinnya Archidendron jiringa. Tak pernah saya dengar kata Jengkol macam sekarang.
Bahasa Perancis sampai tak cukup kosa kata sehingga tetap memanggilnya Jengkol. Tapi saya suka menyebutnya Jering karena lebih ringan mulut melafas vokal �i�, ketimbang �o�.
Kita banyak berhutang budi pada Ivan Christian Nielsen, Paleontologist dan Naturalist asal University of Copenhagen, Denmark yang pertama memberi nama itu; lahir 18 Februari 1946, meninggal tahun 2007 pada usia 61 tahun.
Manusia pemakan Jering memiliki 23 pasang kromosom (2n=46). Sebaliknya, jering yang dimakan manusia memiliki jumlah kromosom lebih kurang setengahnya (2n=26).
Dia termasuk keluarga tumbuhan berpolong (berhantu?). Mungkin karena berhantu itulah, maka pohon Jering legendaris di simpang Jengkol Kota Duri Kabupaten Bengkalis, Riau, kena tebang. Hilang ikon kota kaya minyak itu.
Jadilah simpang bingung yang banyak menyusahkan dan menyesatkan orang memilih arah.
Tapi yang saya maksud tadi sebenarnya adalah Leguminosae, famili tumbuhan yang memiliki bintil akar hasil hubungan intim suka sama suka, saling menguntungkan kedua belah pihak antara bakteri dengan akar Jering.
Simbiosis mutualiasme itu membuat tanaman jering bisa menyemat Nitrogen (Pupuk N) made in ALLAH secara gratis dari udara bebas.
Jadi, tanpa diberi pupuk made in Manusia pun dia tetap akan sintas untuk menyelesaikan siklus kehidupannya dengan cemerlang, gemilang dan terbilang.
Kemampuan jelajah Jering boleh tahan. Asia Tenggara, Banglades, Myanmar, Thailand, Malaysia, lebih-lebih Indonesia adalah wilayah taklukan utamanya.
Dia dapat tumbuh dan beranak-pinak, mulai dari bantaran sungai, wilayah pegunungan (>1.600 dpl) sampai dalam hutan tropika lembab.
Singkatnya, dimana biji tercampak, di situ benih berkecambah, lalu tumbuh berserak. Di mana ada lahan marginal, di situ Jering bisa tumbuh bugar.
Meski baunya (odour) menyengat lubang hidung, tapi Jering banyak berfaedah bagi kehidupan kita. Dapat jadi bahan pewarna, menyembuhkan kencing manis dan gatal-gatal kulit.
Abu daunnya bisa untuk menyembuhkan luka setelah bersunat (sirkumsisi), bisa menjadi shampoo karena mengandung senyawa kimia saponin.
Kehidupan Jering secara ontologis memang sarat dengan misteri. Meski baunya pesing dan hancing, namun ramai orang suka, lebih memilih jering ketimbang ayam gulai.
Pengulam buah Jering muda pun tak peduli kena sepit Jering, padahal nikmat membawa sengsara.
Keuntungan berniaga Jering pun boleh tahan.
Adakah pertalian antara penyuka makan Jering dengan sifatnya yang kedekut macam tangkai jering itu? Secara genetis rasanya tidak. Wallahualam...
____________________________________________________________________________________
L.N. Firdaus
Pemerhati Sampah Kehidupan

Komentar Via Facebook :