Berita / Lingkungan /
Isu Lingkungan Ramai di Media Sosial, Gen Z dan Gen Alpha Perlu Kritis Tapi Berimbang
Foto: Shutterstock
Jakarta, elaeis.co – Isu lingkungan kini menjadi salah satu topik paling ramai diperbincangkan di media sosial. Mulai dari banjir, deforestasi, sawit, tambang, hingga bencana hidrometeorologi, semuanya mudah viral dan cepat membentuk opini publik.
Namun derasnya arus informasi itu dinilai justru berisiko menyesatkan, terutama bagi Gen Z dan Gen Alpha yang tumbuh di era digital.
Akademisi Geografi Universitas Islam Malang (UNISMA) sekaligus Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto, menyebut kondisi ini sebagai fenomena overload informasi.
Menurutnya, kelebihan informasi bukan membuat publik semakin paham, tetapi justru kebingungan.
“Bukan hanya Gen Z dan Gen Alpha, generasi milenial sampai baby boomer juga terdampak. Informasi terlalu deras, akhirnya kita bingung mana yang benar dan mana yang substansial,” ujar Rasminto dalam diskusi publik terkait krisis lingkungan.
Ia menjelaskan, persoalan utamanya bukan sekadar memilah benar atau salah, melainkan kegagalan menangkap inti persoalan. Ketika terlalu banyak narasi berseliweran, publik berhenti di permukaan dan kehilangan konteks.
“Karena terlalu banyak, yang didapat setengah-setengah. Substansinya justru hilang,” katanya.
Rasminto menekankan pentingnya kemampuan memfilter informasi. Ia mengingatkan bahwa kemampuan manusia menyerap informasi memiliki batas, sehingga konsep multitasking sering kali hanya mitos.
“Kalau tidak dilatih serius, multitasking itu omong kosong. Kita perlu fokus pada keilmuan utama, lalu memperkaya pengetahuan tambahan. Kalau tidak, informasi hanya lewat begitu saja,” ujarnya.
Dalam konteks isu lingkungan, kemampuan menyaring informasi menjadi sangat penting. Narasi soal sawit, tambang, dan bencana sering bercampur dengan kepentingan politik, framing media, hingga sensasi media sosial. Akibatnya, diskursus publik lebih ramai debat, tetapi minim solusi.
Ia juga menyoroti bagaimana bencana kerap dipolitisasi di ruang digital, termasuk polemik status bencana nasional dan isu penolakan bantuan asing.
Menurutnya, ukuran utama bukan pada label status, melainkan keseriusan negara dalam penanganan di lapangan.
“Bencana itu bukan cuma soal teknis dan fisik, tapi juga politis. Banyak kebisingan informasi yang justru menjauhkan kita dari substansi penanganan,” kata Rasminto.
Sementara itu, Dosen Kehutanan Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta, Siti Maimunah, menilai Gen Z dan Gen Alpha perlu mendapatkan pemahaman lingkungan yang lebih utuh dan berimbang, termasuk dalam melihat sektor kelapa sawit.
“Sawit itu komoditas unggulan Indonesia dan menopang ekonomi nasional. Jangan hanya dilihat sisi negatifnya saja,” ujar Siti.
Ia menegaskan bahwa sawit berkontribusi besar terhadap devisa negara dan kesejahteraan masyarakat, terutama di daerah penghasil seperti Kalimantan. Namun demikian, pengawalan terhadap praktik di lapangan tetap menjadi kunci.
“Bukan memusuhi, tapi mengawal. Sawit harus tetap di koridornya, tidak masuk kawasan konservasi,” katanya.
Menurut Siti, generasi muda yang aktif di media sosial perlu membiasakan diri untuk memeriksa ulang informasi dan memahami kondisi lapangan, bukan sekadar mengikuti narasi viral.
“Media sosial seharusnya jadi sarana belajar yang cerdas. Informasi harus dicroscek, dilihat utuh, tidak ditelan mentah-mentah,” ujarnya.
Baik Rasminto maupun Siti sepakat, tantangan terbesar hari ini bukan kurangnya informasi lingkungan, melainkan kelebihan informasi tanpa literasi.
Di tengah derasnya arus digital, sikap kritis dan berimbang menjadi kunci agar Gen Z dan Gen Alpha tidak sekadar menjadi konsumen isu, tetapi juga bagian dari solusi lingkungan di masa depan.







Komentar Via Facebook :