https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

IPB Buka Data, Moratorium Sawit Dinilai Jalan Darurat Cegah Banjir Berkelanjutan

IPB Buka Data, Moratorium Sawit Dinilai Jalan Darurat Cegah Banjir Berkelanjutan

Kepala Pusat Pengembangan Ilmu Lingkungan (PPLH) IPB University, Yudi Setiawan.


Jakarta, elaeis.co – Akademisi IPB University menilai moratorium atau penghentian sementara ekspansi perkebunan sawit perlu dipertimbangkan sebagai langkah darurat untuk mencegah banjir berulang di Sumatera. 

Usulan ini didasarkan pada data riset yang menunjukkan keterkaitan kuat antara perubahan tutupan lahan, khususnya berkurangnya hutan, dengan meningkatnya kejadian banjir dan longsor.

Kepala Pusat Pengembangan Ilmu Lingkungan (PPLH) IPB University, Yudi Setiawan, menyampaikan bahwa banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat pada 25–27 November 2025 memang dipicu hujan ekstrem akibat Siklon Senyar. Namun, dampaknya menjadi lebih parah karena degradasi daerah tangkapan air.

“Moratorium di lokasi dengan risiko bencana tinggi bisa menjadi salah satu mitigasi ke depan, disertai rehabilitasi sawit tua menjadi hutan varian,” ujar Yudi dalam webinar Rabu (24/12).

Yudi menjelaskan, berbagai studi menunjukkan perubahan tutupan lahan akibat hilangnya hutan dan ekspansi sawit berkontribusi terhadap peningkatan laju aliran permukaan. Kondisi ini membuat air hujan tidak terserap optimal dan langsung mengalir ke sungai, sehingga memicu banjir.

Salah satu riset IPB tahun 2024 menganalisis kejadian banjir pada periode 2011–2018 dengan metode data mining dari media daring dan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Hasilnya menunjukkan tren peningkatan kejadian banjir intensitas tinggi di Aceh pada sejumlah wilayah.

Selain itu, Yudi menyoroti penurunan tutupan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan yang meliputi Aceh Tengah, Bireuen, dan Aceh Utara. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, tutupan hutan di wilayah tersebut terus menurun seiring meningkatnya perkebunan komoditas strategis, termasuk sawit, serta aktivitas pertambangan di daerah hulu.

“Kondisi serupa terjadi di DAS Batang Toru dan DAS Garoga di Sumatera Utara. Batang Toru memiliki lereng curam, lembah sempit, dan geologi rapuh, sehingga sangat rentan terhadap longsor dan banjir bandang,” kata Yudi. Sementara DAS Garoga dan sejumlah DAS kecil lainnya memiliki sungai pendek dan curam yang mempercepat aliran air saat hujan lebat.

Di Sumatera Barat, beberapa DAS juga tercatat terdampak banjir bandang hingga menimbulkan korban jiwa. Data Kementerian Kehutanan periode 2003–2024 menunjukkan tren konversi hutan menjadi nonhutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang berdampak pada penurunan kualitas ekosistem.

Sebagai rekomendasi, IPB mendorong rehabilitasi hulu DAS, reforestasi, pengendalian pembukaan hutan di zona rawan, serta penguatan sistem peringatan dini banjir berbasis teknologi. 

Bersama BRIN dan Universitas Indonesia, IPB juga mengembangkan sistem deteksi dini perubahan tutupan vegetasi yang mulai digunakan di Kementerian Kehutanan untuk memantau kehilangan hutan secara lebih cepat.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :