https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Hak Lingkungan Hidup Dijamin UUD, Kenapa Kerusakan Justru Dinormalisasi?

Hak Lingkungan Hidup Dijamin UUD, Kenapa Kerusakan Justru Dinormalisasi?


Jakarta, elaeis.co – Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sejatinya sudah dijamin konstitusi. Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945 bicara tegas soal tanggung jawab negara menjaga alam demi kesejahteraan rakyat. 

Namun di lapangan, kerusakan ekologis justru seperti jadi menu harian, datang berulang, dibahas sebentar, lalu dianggap lumrah.

Gambaran itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk Konstitusi dan Krisis Ekologis: Belajar dari Bencana Hidrometeorologi Sumatera. 

Forum ini menyoroti rentetan banjir, longsor, dan kerusakan lingkungan di Sumatera yang dinilai bukan semata-mata bencana alam, melainkan buah dari kelalaian struktural dan lemahnya penegakan hukum.

Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto, menyebut bencana hidrometeorologi di Sumatera sebagai “alarm keras” atas rusaknya tata kelola sumber daya alam. 

Menurutnya, deforestasi, alih fungsi lahan, serta eksploitasi yang longgar pengawasan telah menggerus fungsi hidrologis hutan. Dampaknya bukan hanya korban jiwa dan kerugian ekonomi, tapi juga gejolak sosial dan politik.

“Secara konstitusi, instrumen hukumnya ada. AMDAL, UKL-UPL, sampai regulasi kehutanan lengkap. Masalahnya, setelah omnibus law dan UU Cipta Kerja, sanksi lingkungan cenderung melemah. Banyak pelanggaran hanya berujung administratif,” kata Rasminto.

Ia menambahkan, sejak 2019 hingga 2025, permohonan uji materi UU Cipta Kerja mendominasi gugatan di Mahkamah Konstitusi. Fakta ini, menurutnya, menandakan kegelisahan publik atas perlindungan lingkungan yang kian rapuh. “Hak lingkungan hidup dijamin, tapi praktiknya seperti tak punya gigi,” ujarnya.

Nada kritis juga datang dari Dosen Kehutanan Instiper sekaligus penerima Kalpataru 2017, Siti Maimunah. Ia menilai kerusakan ekologis kerap dinormalisasi karena fokus pembangunan terlalu berat ke ekonomi, sementara aspek ekologi hanya jadi catatan kaki.

“Kesalahan sering dilempar ke komoditas—sawit, tambang—padahal masalah utamanya ada pada sistem. Pemerintah punya dokumen lingkungan yang tegas, tapi pengawasan dan implementasinya lemah. Banyak yang hanya formalitas,” ujar Siti.

Ia menegaskan, sawit dan tambang tidak bisa serta-merta dimusuhi karena keduanya penopang ekonomi nasional. Namun tanpa pengawalan serius, eksploitasi berubah jadi bencana yang diwariskan ke generasi berikutnya. 

“Konstitusi itu bukan hiasan. Ia harus hidup dalam kebijakan dan praktik,” katanya.

Diskusi ini juga menyinggung peran negara yang dinilai kerap hadir setelah bencana, bukan sebelum. Izin sudah terbit, kawasan sudah rusak, baru evaluasi dilakukan. Pola semacam ini membuat kerusakan terasa “biasa”, seolah risiko yang wajar dari pembangunan.

Padahal, data kerugian akibat bencana hidrometeorologi di Sumatera mencapai puluhan triliun rupiah, ribuan korban jiwa, dan ratusan ribu pengungsi. Angka-angka itu menjadi ironi pahit di tengah jaminan konstitusional atas lingkungan hidup.

Forum tersebut menyimpulkan, normalisasi kerusakan adalah tanda bahaya. Selama hukum lingkungan tak ditegakkan tegas dan konstitusi hanya dibaca di atas kertas, bencana akan terus berulang. Pertanyaannya tinggal satu: sampai kapan hak lingkungan hidup berhenti sebagai janji, bukan kenyataan?

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :