https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Bencana Hidrometeorologis Sumatera, Bukti Konstitusi Belum Hadir untuk Alam?

Bencana Hidrometeorologis Sumatera, Bukti Konstitusi Belum Hadir untuk Alam?


Jakarta, elaeis.co – Serangkaian bencana hidrometeorologis yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera kembali memantik perdebatan soal peran negara dalam melindungi lingkungan hidup. 

Banjir bandang, longsor, hingga hujan ekstrem yang terjadi sejak akhir November lalu dinilai bukan sekadar peristiwa alam, melainkan akumulasi panjang dari tata kelola lingkungan yang bermasalah.

Isu ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Konstitusi dan Krisis Ekologis: Belajar dari Bencana Hidrometeorologi Sumatera” yang digelar secara daring. 

Para narasumber sepakat, bencana yang berulang menjadi cermin rapuhnya implementasi konstitusi dalam menjaga keseimbangan ekologis dan keselamatan warga.

Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto, menyebut Indonesia sejatinya memiliki landasan hukum yang kuat terkait perlindungan lingkungan. 

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sementara Pasal 28A menjamin hak setiap warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Namun, menurut Rasminto, persoalannya terletak pada praktik di lapangan. Ia menilai bencana di Sumatera tidak bisa dilepaskan dari rusaknya fungsi ekologis akibat deforestasi, alih fungsi lahan, serta lemahnya pengawasan negara. “Ini bukan semata bencana alam, tapi hasil dari pembiaran panjang,” ujarnya.

Data yang dipaparkan menunjukkan kondisi ekologis Sumatera kian mengkhawatirkan. Sekitar 1,4 juta hektare hutan dilaporkan hilang, sejumlah daerah aliran sungai masuk kategori kritis, dan tutupan hutan di beberapa wilayah menyusut hingga di bawah 70 persen. 

Dampaknya, lebih dari seribu korban jiwa tercatat, ratusan ribu warga mengungsi, dan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah.

Rasminto juga menyoroti munculnya konflik sosial dan derasnya disinformasi di tengah bencana. 

Narasi yang berkembang di media sosial kerap mengaburkan substansi persoalan ekologis, mulai dari isu lambatnya penanganan hingga politisasi bantuan. Kondisi ini, kata dia, justru memperlemah fokus publik pada akar masalah.

Sementara itu, Dosen Kehutanan INSTIPER Yogyakarta, Siti Maimunah, menilai bencana hidrometeorologis di Sumatera sebagai konsekuensi dari kegagalan struktural pengelolaan lingkungan. 

Ia menegaskan, banjir bandang tidak semata dipicu curah hujan tinggi, tetapi juga oleh rusaknya kawasan hulu, hilangnya vegetasi, dan tata ruang yang diabaikan.

“Ketika hutan rusak, tanah kehilangan daya serap. Air turun tanpa kendali dan membawa dampak ke wilayah hilir,” kata peraih Kalpataru 2017 tersebut.

Siti mengingatkan agar publik tidak menyederhanakan persoalan dengan menyalahkan komoditas tertentu, seperti sawit atau tambang. 

Menurutnya, persoalan utama terletak pada sistem perizinan dan pengawasan yang lemah. Ia bahkan menilai sektor swasta bisa menjadi mitra konservasi jika regulasi ditegakkan secara konsisten.

Dalam diskusi tersebut juga disinggung langkah pemerintah di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Melalui Kementerian Kehutanan, pemerintah mencabut izin pemanfaatan hutan seluas sekitar 750 ribu hektare dan menertibkan jutaan hektare kawasan hutan ilegal melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan.

Kendati diapresiasi, para narasumber menilai upaya tersebut masih harus dibarengi dengan reformasi tata kelola yang menyeluruh. 

Bencana, mereka menegaskan, akan terus berulang jika negara belum sepenuhnya hadir menjalankan amanat konstitusi dalam melindungi alam dan ruang hidup masyarakat.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :