https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Terkait Penghentian Pembelian Minyak Sawit, APKASINDO: Mengkritik Jangan By Order lah, Tapi Ilmiah

Terkait Penghentian Pembelian Minyak Sawit, APKASINDO: Mengkritik Jangan By Order lah, Tapi Ilmiah

Gulat di Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Dewan Pimpinan Wilayah APKASINDO Sumatera Utara, di kawasan Jalan Sisingamangaraja, Medan. Foto: Aziz


Medan, elaeis.co - Sebetulnya Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) ini tidak mempersoalkan siapapun mengkritisi kelapa sawit Indonesia.

Yang penting kritikan itu benar-benar berdasar, faktual dan mengedepankan tiga dimensi, ekonomi, sosial dan lingkungan.   

Sebab sesungguhnya, tanpa dikritisipun, para petani kelapa sawit Indonesia kata lelaki bernama Gulat Medali Emas Manurung ini, sudah menjaga tiga dimensi tadi melalui kearifan lokal yang selama ini terjaga. 

Dan walau kearifan lokal itu selalu terjaga, tetap saja petani sawit semangat menjalankan aturan main soal keberlanjutan yang dibikin pemerintah, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

"Memang, yang mengantongi sertifikat ISPO masih 0,42 persen atau 28 ribu hektare dari 6,8 juta hektare luas kebun kelapa sawit petani se-Indonesia. Walau masih kecil, tapi itu kan sudah upaya kami, bentuk komitmen kami menjaga keseimbangan tiga dimensi tadi," kata lelaki 50 tahun ini di Forum Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Dewan Pimpinan Wilayah APKASINDO Sumatera Utara (Sumut), di kawasan jalan Sisingamangaraja, Medan, Sabtu (18/3).

Dan meski jumlahnya masih kecil kata Gulat, dari hasil penelitian yang dia lakukan dan biaya sendiri pada dua tahun lalu, justru dimensi keberlanjutan dari aspek lingkungan (khususnya biodiversitas), perkebunan sawit rakyat malah lebih tinggi ketimbang dua dimensi lain. 

Doktor agro-ekosistem ini pun nelangsa menengok berita yang menyudutkan kelapa sawit Indonesia. Auditor ISPO ini menjadi panas lantaran yang menjelekkan kelapa sawit Indonesia itu anak bangsa sendiri.   

"Komentarnya di berita itu terkesan syur sendiri. Enggak ada data kuantitatif yang diungkap, cuma qualitative," kata Gulat kepada elaeis.co.

Memang kata Gulat, tuduhan qualitative itu hanya ditujukan kepada salah satu perusahaan sawit yang ada di Indonesia. 

"Tapi secara spesifik, itu justru sangat tendensius menyudutkan sawit. Sementara di industri sawit itu ada kami 17 juta petani dan pekerja sawit. Lagi pula saya lihat, kejadiannya sudah lama, perusahaan itu sudah 15 tahun, kok sekarang baru direcoki? Ada apa?" rutuknya.

Biar fair, ayah dua anak mengajak Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional Uli Arta Siagian untuk berdebat ilmiah tentang sawit. Kebetulan Uli yang berkontar di pemberitaan itu. 

"Kami tidak pada posisi ingin membela atau menyudutkan siapa-siapa. Karena kami hidup dan menggantungkan masa depan keluarga kami di sawit lah menjadi alasannya,” ujar Gulat. 

Lebih jauh lelaki ini menyebut, sebetulnya sudah rahasia umum kalau pekerjaan menjelek-jelekkan sawit itu ada sumber duitnya dan upaya menjelek-jelekkan itu wajar terjadi lantaran memang itulah outout dari proposal pekerjaan yang kayak begitu. 

"Tapi tolong Uli Artha menengok kami petani sawit yang sudah berjibaku di tengah kebun sawit kami untuk bisa hidup dan bertahan. Mengganggu sawit sama dengan mengganggu masa depan kami petani sawit. Sekali lagi, kalau ada data-data yang didapat, sebaiknya diuji dululah secara ilmiah, jangan cuma mengandalkan narasi," pintanya.

Sebagai perusahaan kelas dunia, Gulat menyarankan agar PepsiCo jangan terlampau gampang terpengaruh dengan laporan pihak tertentu. 

"Sebaiknya lakukan dulu uji lapangan. Ajak lintas stakeholder berdiskusi, termasuk kami petani sawit yang saat ini sudah generasi kedua," pintanya.

Kalau merunut apa yang selama ini mendera sawit,  sebenarnya Gulat sudah tak aneh lagi dengan tuduhan tendensius kepada tanaman yang telah menghidupi jutaan rakyat Indonesia dan telah memberikan devisa raksasa kepada pundi-pundi negara itu. 

Lagi-lagi kata Gulat, Apkasindo menengok bahwa modus penjelekan ini masih sama seperti yang sudah-sudah; persaingan bisnis. Persaingan ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu melalui proposal kegiatan. 

Dampak negatif terhadap lingkungan dari usaha tani Sunflower, Rapeseed dan Soybean (SRS), sebetulnya sangat dasyat. Laporan hasil penelitian ilmiah tentang itu sudah dimuat di journal internasional. 

Sawit itu tanaman tahunan, SRS tanaman musiman. Dari dua jenis tanaman ini tidak cukup seribu lembar halaman membahas betapa lebih berkelanjutannya sawit.

"Yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa SRS ini enggak pernah diserang? Jawabannya ya lantaran yang semangat membiayai serangan itu ya dari Eropa, negeri penghasil SRS itu dengan memanfaatkan anak bangsa ini," tudingnya.

Bisa jadi kata Gulat, Uli hanya sesekali datang ke kebun sawit, atau jangan-jangan sanak familinya banyak yang jadi petani sawit. 

Harusnya sesekali Uli memikirkan dan menolong kami petani sawit untuk mendapatkan harga TBS yang wajar dan setara, harus nya sesekali Uli juga memikirkan bagaimana menolong kami petani sawit yang masih terjebak dalam klaim Kawasan hutan. Memikirkan gimana caranya supaya petani bisa hijrah menjadi petani hilir. 

"Jujur, kami memang tidak punya uang untuk membayar proses pertolongan itu, tapi kami punya masa depan oleh pertolongan tadi," katanya. 

Terlepas dari apapun itu, Gulat sangat yakin masih sangat banyak anak bangsa yang mau mengawal tanaman yang kini sudah menjadi icon bangsa itu.  

"Mari sama-sama kita menjaga sawit ini sebagai bagian dari pemersatu bangsa, aset negara, dengan cara yang lebih ilmiah dan mengedepankan tiga dimensi keberlanjutan tadi. Jangan kita hanya bicara lingkungan dan mengabaikan dua aspek lainnya," pinta Gulat.

Komentar Via Facebook :