https://www.elaeis.co

Berita / Lipsus /

Sopir Truk Sawit Pedagang Air Rebus

Sopir Truk Sawit Pedagang Air Rebus

Ahmad Misri saat akan menyetiri truk angkutan sawitnya. foto: herman


Lelaki 42 tahun itu nampak sumringah saat kami tiba di warung sederhana di pinggir jalan lintas Rangau Desa Buluh Manis Kecamatan Batin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau itu, Rabu pekan lalu. Warung yang hanya beberapa langkah dari Ram milik tokenya; Wilson Pangaribuan. 

Zuhur baru saja berlalu saat dia sampai di sana. “Tadi habis langsir buah, saya bawa ke Ram ini,” ujarnya sambil mengangguk mau saat Elaeis Media group (EMG) menawari segelas kopi panas. Namanya Ahmad Misri. 

Kami memang sengaja janjian di warung itu, untuk mendengar kisahnya yang sudah 15 tahun menjadi sopir truk. “Kalau jadi sopir truk sawit sih baru 5 tahun terakhir,” ayah empat anak ini mulai berkisah. 

Sebelumnya kata Ahmad, dia sudah pernah jadi sopir di berbagai jenis usaha. Ada angkutan barang, angkutan umum, hingga kendaraan proyek. Tapi tak ada yang membuatnya kerasan. “Paling lama setahun. Kadang cuma enam bulan. Alhamdulillah di sini betah,” dia tertawa.

Jadi sopir truk sawit di Ram Wilson kata Ahmad, dia tidak musti datang pagi-pagi, apalagi harus subuh. “Paling cepat jam 10 pagi baru ke lapangan. Kadang jam 12 atau jam 1 siang,” katanya.

Jadwal semacam ini nongol lantaran mereka kata Ahmad, mengikuti pola kerja pemilik kebun sawit. “Mereka kan panen nya pagi. Jadi kita tunggu dulu panennya kelar. Situasi inilah yang membikin kita baru bisa datang menjemput hasil panen itu jelang siang,” ujarnya. 

Tidak melulu Ahmad harus menggeber mobil truk ke lokasi kebun petani. Kalau misalnya hasil panen yang akan dijemput berada di areal yang jalannya kecil, terpaksa dia menunggangi L300. 

Bawa mobil semacam ini resikonya lumayan juga. Sebab bukan tidak sering pada saat menjemput hasil panen di lapangan, tiba-tiba hujan deras. Kalau sudah begini, alamat L300 bisa-bisa terpuruk. 

Maklum, tidak semua jalan-jalan di kebun sawit milik petani itu mulus. “Kadang buah sawit yang kita jemput itu tidak di satu tumpukan. Ada beberapa tumpuk. Satu tumpuk itu bisa 2 ton, tiga ton dan ada pula yang cuma satu ton,” terangnya.  

Jadi kata Ahmad, tidak harus penuh dulu bak truk yang dia sopiri baru kembali ke Ram. “Kalau yang ada cuma dua ton, itulah yang kita bawa ke Ram. Nanti di tumpukan lain, dijemput lagi,” katanya. 

Dalam sehari, bisa jadi Ahmad hilir mudik ke kebun petani hingga tiga atau empat kali. Untuk menuntaskan ini semua, kadang dia butuh waktu tiga jam. Termasuk waktu memuat buah. “Kalau kondisi jalan parah, bisa saja butuh waktu empat jam sekali putaran,” katanya. 

Selain menjemput sawit ke lapangan, Ahmad juga kebagian mengantar buah sawit itu ke Pabrik. Masih di daerah jalan Rangau itu. Dari Ram hanya berjarak sekitar 18 kilometer. “Sekitar 20 menitlah ke sana,” terangnya. 

Kalau sudah dapat giliran ke pabrik, Ahmad akan dibekali toke uang jalan Rp200 ribu. Duit itu sudah termasuk untuk biaya bongkar, uang ‘asam’ dan uang ngopi. “Sekali angkut minimal 5 ton. Idealnya sih 6-7 ton,” ujarnya. 

Untuk semua aktifitas tadi, Ahmad kebagian gaji bersih Rp3,5 juta sebulan. “nanti kalau lebaran dapat THR, ada juga bantuan kalau kita lagi kesulitan duit,” wajah Ahmad nampak malu-malu. 

Dengan tanggungan 3 anak --- anak pertama berhenti kuliah lantaran terkendala biaya dan istri yang tiga tahun belakangan stroke namun sudah berangsur pulih, gaji segitu bagi Ahmad jelas-jelas tidak mencukupi. Itulah makanya dia berusaha memutar otak gimana caranya bisa mendapat tambahan duit. 

Alhamdulillah, tiga bulan belakangan, Ahmad sudah membikin usaha jualan air rebus. Iya, air rebus. Bukan air mineral kemasan biasa. “Air dari sumur bor kita saring, lalu direbus. Setelah matang, didinginkan. Terus kita masukkan ke jerigen. Itu yang saya jual keliling,” katanya.

Mula-mula pelanggan Ahmad masih hitungan jari. Namun lama kelamaan mulai bertambah hingga kemudian dia terpikir untuk membeli Carry dengan cara kredit. Angsurannya Rp3,75 juta per bulan. “Usaha air rebus ini bisalah membayar cicilan. Terus bisa pula dapat uang bersih Rp1 juta sebulan,” lelaki ini sumringah.

Biar kerjanya sebagai sopir truk tidak terganggu, pagi-pagi sekali Ahmad sudah keliling jualan air. Nanti sekitar jam 11, barulah dia kembali ke rutinitasnya sebagai sopir truk sawit. 

Balik ke cerita sopir truk sawit ini, kalau ditanya soal pengalaman pahit, Ahmad sontak tertawa. “Kalau cerita susah, kadang orang endak percaya. Mobil saya pernah nyangkut dua hari dua malam di Pondok Lima. Waktu itu hujan lebat, jalan rusak berlumpur,” kenangnya.

Alhasil, Ahmad terpaksa tidur di mobil, sekalian menjaga mobil itu. “Teman saya memang ada. Kami upayakanlah gimana caranya supaya mobil itu bisa keluar,” kataya. 

Herannya, meski beberapa kali mengalami kejadian seperti itu, Ahmad tidak kapok. “Demi keluarga, demi anak-anak, ya enggak bakal kapoklah,” lelaki ini nampak nyengir. Ada gurat sendu di wajahnya. 

Meski sering mengalami kesulitan di lapangan, Ahmad tidak pernah menceritakan itu kepada istri dan anaknya. “Saya nggak mau itu jadi beban pikiran mereka. Cukup mereka tahu yang enak-enaknya saja. Yang susah, biar saya simpan sendiri,” mata Ahmad nanar memandang jauh. 

Bagi Ahmad, enggak ada yang musti dikeluhkan. Sebab bagi dia, apapun resiko yang dia hadapi, itu adalah bagian dari perjalanan hidup. “Apa pun itu, syukuri saja. Jangan mengeluh, nikmati dan terima apa yang menjadi hak kita,” katanya. 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :