https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Segregasi Jadi Titik Lemah Industri Sawit dan Karet Hadapi EUDR

Segregasi Jadi Titik Lemah Industri Sawit dan Karet Hadapi EUDR

Sosialisasi terkait EUDR kepada petani sawit. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co - Menjelang diberlakukannya Regulasi Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) pada akhir 2025, industri sawit dan karet global tengah berpacu melengkapi kepatuhan. Tapi ada satu tantangan krusial yang masih jadi titik lemah, yaitu segregasi.

Bukan soal janji bebas deforestasi, bukan pula soal komitmen hijau yang sering terpampang dalam laporan keberlanjutan. Melainkan soal pemisahan fisik dan administratif antara komoditas patuh dan tidak patuh sejak dari kebun hingga ekspor.

Regulasi EUDR mewajibkan ketertelusuran menyeluruh terhadap semua komoditas yang masuk ke pasar Uni Eropa. Artinya, satu kontainer pun tak boleh tercampur antara hasil panen dari lahan patuh dan lahan yang tidak diketahui statusnya, apalagi yang sudah terdeforestasi setelah 31 Desember 2020.

Dalam laporan Forbes 2025, hanya 30% pemasok hulu dan 12% pelaku hilir yang punya sistem pelacakan risiko deforestasi yang layak. Ini berarti mayoritas rantai pasok masih rawan tercampur, baik karena kelalaian atau kekurangan infrastruktur pelacakan.

Menurut Andre Mawardhi, Senior Manager Agriculture & Environment di KOLTIVA, tantangan segregasi paling nyata terjadi di lapisan paling bawah rantai pasok: petani kecil. Banyak dari mereka mengelola beberapa kebun, sebagian sudah patuh EUDR, sebagian belum.

“Kalau hasil panen dari dua kebun itu tercampur, semua bisa dianggap tidak patuh, dan ini ancaman nyata bagi akses pasar Uni Eropa,” jelas Andre dalam rilis yang diterima, Selasa (05/08).

Di lapangan, segregasi fisik dan dokumentasi nyaris mustahil dilakukan tanpa pelatihan, teknologi, dan pendampingan. Tanpa itu, petani terpaksa dijauhkan dari rantai pasok ekspor demi menyederhanakan kepatuhan. 

KOLTIVA, perusahaan AgriTech Swiss-Indonesia, mendorong pendekatan sistematis berbasis teknologi melalui aplikasi KoltiTrace. Aplikasi ini mendukung tiga level analisis ketertelusuran: spasial, risiko, dan kepatuhan penuh.

Petani seperti Rahman Sarwono di Kutai Barat mulai merasakan manfaatnya. “Kami dilatih untuk pisahkan panen dari kebun yang sudah dipetakan. Ini bantu kami tetap bisa jual hasil ke pasar yang patuh EUDR,” ujarnya.

Langkah-langkah seperti verifikasi legalitas lahan, pemetaan poligon, serta pencatatan hasil panen secara digital, kini jadi kunci menjaga segregasi dan transparansi rantai pasok.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :