Berita / Pojok /
"Saya Terkesan. Ada Mutiara di Kampus itu"
Fedli Azis (pakai topi pet) dalam 'Syarahan Shadu Perdana' yang diinisasi oleh Prof. Yusmar Yusuf di Norma Coffee Pekanbaru kemarin. foto: ist
Saat diundang dalam pertemuan terbatas oleh Prof YY lewat WA, saya sudah berpikir, "Ini tentu sesuatu yang menarik". Apalagi, orang tua satu ini memang penuh kejutan dengan kedegilan-kedegilan olah pikir dan rasa yang aduhai.
Meski terlambat tiba dipertemuan itu, akibat hujan, saya tetap sempatkan untuk berada ditengah-tengah peristiwa langka itu.
Saya katakan langka, karena memang diskusi sebebas itu jarang saya jumpai di Riau beberapa tahun belakangan. Apalagi setelah para senior-senior dari kalangan seniman sudah berstatus "Allahyarham" seperti Al azhar, Hasan Junus, Idrus Tintin, Bustamam Halimi, Dasri al Mubari dan banyak lagi.
Peristiwa kali ini justru terjadi di kalangan kampus, terutama FISIP Unri, yang sebelumnya tak pernah terdengar. Bicara dan mengungkapkan pendapat sebebas-bebasnya tentang filsafat dan ilmu lainnya.
Pertemuan yang menarik itu menghadirkan anak muda yang oke "banget" yakni M Natsir Tahar asal Kota Batam (Kepri).
Yang lebih menariknya, anak-anak muda seperti Alumni HI Ibam Ermansyah dan Wicaksana serta Hadi, mampu mengimbangi kajian yang didedah M Natsir Tahar dan diskusi filsafat itu mengalir hangat dari pukul 14.00 WIB - 18.00 WIB tanpa jeda.
Dekan FISIP DR Meyzi Herianto dan Murparsaulian juga nimbrung menanggapi diskusi itu. Saya sendiri, sudah sejak awal memang berniat menikmati peristiwa itu dan yang terbayang-bayang sosok Hasan Junus dan Al azhar yang kerap mengajak diskusi serupa itu.
Dalam tangkapan saya yang tidak punya wawasan seluas anak-anak muda itu, M Natsir, Murparsaulian, dekan dan utamanya Prof YY tentang kebenaran, manusia dan tindak-tanduknya, bahwa manusia adalah mahluk yang ditafsir sangat beragam sejak dulu hingga nanti.
Dia (manusia) bebas, cenderung ingin menjadi "Tuhan" bagi dirinya sendiri, jika perlu bagi orang lain. Ia senantiasa mencipta dan melahirkan kebaruan-kebaruan tanpa campur tangan Tuhan. Lewat ilmu, teknologi-teknologi dan semacamnya.
Dengan kendaraan teknologi yang senantiasa diperbaharuinya, manusia justru merasa khawatir ciptaannya akan melampaui kehebatannya.
Penciptaan robot yang kian canggih menjadi bukti bagi manusia mampu mencipta sesuatu, tapi ciptaannya tetap saja belum mampu mengalahkan kesadaran yang ditanamkan Tuhan dalam diri setiap manusia.
Para seniman, misalnya saya sendiri, tentu saja senantiasa memberi label pada manusia dalam setiap penciptaan karya "teater" maupun "drama" (naskah drama).
Dalam karya terbaru saya, "Migran Terakhir" juga "Jalur Purba Kedunguan", saya menghina dan merendahkan manusia sebagai upaya untuk menghancurkannya dengan tujuan menciptakan manusia baru dari bahan dasar yang sama.
Terus terang saya terkesan dan ingin peristiwa langka itu terus bergulir sepanjang waktu.*
Fedli Azis
Seniman Riau. Ketua Dewan Kesenian Pekanbaru.







Komentar Via Facebook :