Berita / Internasional /
Sabah Tunjukkan Cara Kelola Sawit Tanpa Rusak Hutan, Bisa Ditiru Indonesia!
Ilustrasi - petani sawit.
Malaysia, elaeis.co - Nama Sabah, Malaysia, makin sering muncul sebagai 'contoh sukses' dalam urusan sawit ramah lingkungan.
Saat banyak negara masih sibuk berdebat soal deforestasi akibat sawit, Sabah justru maju selangkah lewat Jurisdictional Approach Sustainable Palm Oil (JASPO), pendekatan wilayah yang menggabungkan produksi sawit, perlindungan hutan, dan kesejahteraan masyarakat dalam satu paket kebijakan.
Kenapa heboh? Karena Sabah berhasil memadukan bisnis sawit dan konservasi, tanpa drama tarik-ulur kepentingan.
Provinsi ini bukan pemain kecil. Luas kebun sawitnya sudah mencapai 1,5 juta hektare, ditopang 128 pabrik kelapa sawit (PKS) yang mengolah 34,7 juta ton TBS setiap tahun.
Hasilnya, sekitar 4,5 juta ton CPO, atau 26,6% dari total produksi Malaysia. Artinya, keberlanjutan di Sabah bukan basa-basi, ini terjadi di pusat produksi utama, bukan proyek percontohan skala kecil.
Direktur Sabah JASPO Initiative, Julia Majail membeberkan kunci keberhasilan ini karena komitmen politik dan gerakan dari bawah.
“Pendekatan yurisdiksi Sabah mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Sabah dan komunitas lokal,” kata Julia saat Palm Oil Tour RSPO 2025 di Sandakan.
Lewat pendekatan ini, keberlanjutan bukan lagi urusan perusahaan saja. Pemerintah daerah, pabrik sawit, petani swadaya, hingga warga sekitar hutan terlibat dalam satu sistem yang sinkron. Dengan begitu, implementasi standar RSPO berjalan lebih rapi, terukur, dan terasa efeknya di lapangan.
Julia mengakui, awalnya banyak yang pesimis. Ada yang takut dibebani standar tinggi, biaya tambahan, dan risiko produksi turun. “Pada awalnya, banyak pihak yang ragu, tapi begitu pemerintah menunjukkan keseriusan, dukungan mulai menguat,” ujarnya.
Ia juga menyentil fakta yang sering luput: keberlanjutan butuh dukungan konsumen, bukan hanya produsen. “Kepedulian terhadap sustainability harus dibarengi kemauan konsumen membayar nilai tambahnya,” tegasnya.
Dengan kata lain, pasar jangan cuma menuntut “sawit hijau” tapi tetap mencari harga paling murah.
Tantangannya kini lebih ke pendanaan. Meski aturan sudah mendukung, program ini butuh amunisi finansial untuk terus jalan. Julia berharap masih ada dorongan anggaran dua hingga tiga tahun ke depan supaya transformasi ini benar-benar mengakar.
Kalau Sabah bisa, kenapa Indonesia tidak? Dengan luas kebun sawit jauh lebih besar dan tekanan global soal deforestasi makin keras, pendekatan berbasis wilayah seperti JASPO bisa jadi terobosan cerdas.
Model Sabah menunjukkan satu hal penting yakni sawit berkelanjutan bukan mimpi, asal pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat mau “main satu tim”.







Komentar Via Facebook :