Berita / Pojok /
Saat Duit Sawit 'Petani Haram' Mengalir Jauh
Tumpukan kayu alam di lahan konsesi HTI. Foto: Aziz
Jakarta, elaeis.co - Pekan depan, duit kelapa sawit yang diambil oleh pemerintah lewat embel-embel pungutan ekspor, naik USD 5 dari yang sebelumnya USD 50 per ton.
Pungutan sebesar USD 55 ini berlaku jika harga CPO kurang atau sama dengan USD 670. Kalau harga CPO di atas USD 670 hingga atau sama dengan USD 695 perton, pungutan ekspor naik lagi menjadi USD 60 per ton.
Begitulah seterusnya, setiap harga CPO naik di kelipatan USD 25 perton, pungutan dipastikan naik lagi. Singkat cerita, kalau harga CPO di angka USD 995, maka pungutan ekspor USD 225 perton!
Angka-angka tadi tertera pada tabel Peraturan Menteri Keuangan nomor 191 2020 tentang tarif layanan pada layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan diundangkan pada 3 Desember 2020 lalu.
Permenkeu pengganti Permenkeu nomor 57 tahun 2020 itu katanya baru berlaku tujuh hari sejak Permenkeu itu diundangkan.
Di situ aturan main ini jalan, di stu pula makin bertambah keringat petani kelapa sawit yang disedot untuk mensubsidi mobil-mobil diesel yang ada di republik ini lewat pembuatan bahan bakar bauran.
Sebab tak kurang dari 80% dari duit pungutan ekpsor tadi dipakai untuk menghasilkan bahan bakar B20.
Nah, disebut keringat petani lantaran sekitar 40% dari total pungutan itu bersumber dari petani kelapa sawit. Ini jika merujuk pada data Dirjen Perkebunan yang mengatakan bahwa dari 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit yang tumbuh di Indonesia, sekitar 7 juta hektar adalah milik petani.
Dari 7 juta hektar itu, hampir separuh adalah petani kelapa sawit yang sampai sekarang berada dalam klaim kawasan hutan. Mereka sering disebut pekebun haram.
Pekebun yang sampai kapan pun tak akan pernah mencicipi duit hibah Peremajaan Kelapa Sawit (PSR) Rp30 juta per hektar dan tak akan pernah mengantongi sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah wajib pada 2025. Sebab itu tadi, untuk dua urusan ini, kebun tak boleh berada pada klaim kawasan hutan.
Hanya saja, kalau kebun haram tadi dikaitkan dengan aqidah, apa yang dihasilkan oleh petani di dalam klaim kawasan hutan ini tentu menjadi haram lantaran melanggar peraturan.
Siapapun yang kecipratan hasil kebun petani haram ini berarti menikmati yang haram pula, termasuklah para pemilik kendaraan diesel dan supirnya.
Sebab sawit petani didalam klaim kawasan hutan tadi telah berbaur dengan CPO lain saat di pabrik dan kemudian diolah menjadi biodiesel untuk Bauran 20 atau B20.
Jumlah yang haram ini tentu tak sedikit, hampir berimbang dengan hasil petani yang tidak dalam klaim kawasan hutan.
Lantas jika dikaitkan dengan hukum, yang ada akan lebih parah lagi. Sebab dalam aturan yang ada disebutkan bahwa orang yang membeli, menampung, memakai dan memperjualbelikan barang haram, bakal dipidana.
Tapi dua analogi tadi tak laku di negeri ini. Si pekebun haram yang sudah ikut mensubsidi rakyat lewat B20, minimal sejak 2015 lalu, tetap saja menjadi haram sendirian. Sederet aturan malah sengaja dibuat biar keharaman ini kekal.
Itu pula makanya sebentar lagi pekebun haram ini bakal menghadapi ajal. Sebab dalam rancangan Peraturan Pemerintah terkait Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pekebun haram ini akan dihadapkan pada denda uang yang besar dan lahannya disita negara.
Hitungan denda yang didapat elaeis.co dalam draft RPP itu begini: Misalkan seorang petani sudah 10 tahun menggarap lahan seluas 20 hektar di dalam klaim kawasan hutan.
Terus waktu membuka kebun dia dianggap telah membabat hutan dengan persentase 40%. Lalu sepanjang dia mengusahai lahan tadi, dia dianggap dapat untung bersih Rp25 juta per hektar pertahun.
Maka kewajiban denda si petani adalah; Rp25 juta x 20 x 10 x 40% = Rp2 miliar. Ini berarti, petani harus membayar kebun itu Rp100 juta per hektar dan kebun itu kemudian disita negara setelah tanaman berakhir satu daur.
Urusan denda dan penyitaan ini lah yang membikin pakar hukum perhutanan DR. Sadino, berang. "Ini denda mematikan. Petani memang tidak dipidana seperti aturan main sebelumnya, tapi sudahlah bayar denda, lahan itu dihutankan kembali," katanya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), DR (c) Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP,. C.APO malah menengok kalau perlakuan jomplang antara petani dan korporasi sangat kentara pada draft itu.
"Hitungan denda itu enggak berdasar. Dibilang untung perbulan petani dalam sehektar Rp2 juta, hitungan dari mana itu? Bisa makan saja para petani itu sudah syukur. Terus terang, kami petani ini makin miris, sudahlah didenda, lahan kami disita. Tapi korporasi, setelah bayar denda, lahannya jadi legal. Terbalik sudah dunia ini," rutuk lelaki 48 tahun ini.
Betulkah para 'petani haram' tadi membabat hutan untuk membangun kebun kelapa sawit? Dari penelusuran eleais.co di Riau dan Jambi, mayoritas petani kelapa sawit yang ada dalam klaim kawasan hutan itu adalah para perantau yang datang dari Sumatera Utara dan Pulau Jawa.
Di rantau, mereka membeli lahan dari masyarakat tempatan. Ada yang hanya dilengkapi surat ninik mamak, ada pula surat ninik mamak plus surat desa.
Kentalnya hukum adat di dua provinsi ini membikin para pendatang ciut untuk merambah hutan. Sebab salah-salah, lahan yang dirambahnya itu adalah milik adat.
"Kami semua di sini membeli lahan, tak ada yang merambah hutan. Kalau kemudian kami yang dipersalahkan, enggak tahu lagi kami harus bilang apa," Mangapul Sinaga, seorang petani kelapa sawit di Desa Pemayungan Kabupaten Tebo, Jambi, bicara polos.
Pengakuan Sinaga tadi semestinya menjadi pertimbangan bagi para jagoan di negeri ini, bahwa Sinaga dan petani lainnya adalah warga negara yang tak mau membikin repot pemerintah.
Mereka menjual apa yang dia punya di kampung halaman lalu merantau demi memperbaiki kehidupan. Kebanyakan mereka bermula di kampung terpencil dan musti bertarung dengan lumpur dan serangan binatang buas untuk menukar duit dengan beras atau mengantar anak sekolah.
Istri dan anaknya harus terbiasa dengan lampu minyak tanah di dalam rumah berdinding papan berlantai semen kasar.
Dan saat sawit mereka menghasilkan, mereka musti mengelus dada lantaran tengkulak sesuka hati membikin harga dengan alasan biaya langsir di jalan berlumpur.
Sekali lagi, semua itu mereka lakukan demi tidak membikin repot pemerintah, demi mengurangi rasa malu pemerintah oleh munculnya pengangguran.
"Kami hanya menyambung hidup di perkampungan ini, mudah-mudahan nasib anak kami lebih baik dari kami kelak," bergetar suara Anto, perantau asal Sumatera Utara yang berkebun sawit di kawasan Indragiri Hulu.
Jika petani yang tak ingin membikin repot pemerintah tadi dicap petani haram, tengok pula data yang disodorkan oleh eyes on the forest --- tim investigasi gabungan sejumlah NGO --- ini.
Bahwa dari tahun 1985 hingga 2012, ada 1,277 juta hektar tutupan hutan di Riau yang dibabat oleh perusahaan konsesi. Tutupan hutan itu berpotensi lebih dari 70 meter kubik kayu per hektar.
Padahal pada sederet aturan seperti Permenhut 10.1 tahun 2000 maupun PP 34 2002, izin konsesi ini hanya boleh ada pada lahan semak belukar dan tanah kosong dengan kepadatan kayu tidak lebih dari 5 meter kubik per hektar.
Luasan penggundulan hutan tadi baru hanya di Riau. Gimana pula dengan di Jambi, Kalimantan dan Papua? Sebab konon, setelah hutan di Riau habis, konsesi berpindah ke daerah-daerah tadi.
Pertanyaan yang muncul kemudian, adakah hukum yang sanggup menindak dan mendenda serta menyita lahan konsesi ini? Seperti yang dibilang oleh Ketua Umum DPP Apkasindo tadi; sudah terbalik dunia ini!

Komentar Via Facebook :