https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Revisi Perpres ISPO Tidak Terlalu Krusial, Problemnya Bukan di Situ

Revisi Perpres ISPO Tidak Terlalu Krusial, Problemnya Bukan di Situ

Dr Diana Chalil selaku Consortium Studies on Smallholder Palm Oil (CSSPO) USU. (Foto: USU)


Medan, elaeis.co  - Tahun 2025 menjadi tahun terakhir pemberlakuan wajib atau mandatori proses sertifikasi sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), baik bagi pengusaha maupun petani sawit.

Di tingkat petani sawit sendiri, minat untuk ikut sertifikasi ISPO sangat minim karena begitu banyak kendala yang harus dihadapi.

Misalnya, proses sertifikasi ISPO membutuhkan banyak biaya dan waktu yang tidak sedikt. 

Di samping itu, petani juga diwajibkan harus memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB) terlebih dahulu agar bisa ikut sertifikasi ISPO.

Memang, seperti diberitakan sebelumnya oleh elaeis.co, Prayudi Syamsuri selaku Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP) pada Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan), mengatakan, nantinya STDB tak lagi menjadi syarat wajib untuk ikut ISPO. 

Hal ini seiring upaya revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau yang ISPO.

"STDB bukan lagi menjadi persyaratan untuk mengajukan ISPO pekebun, tapi menjadi bagian dari penilaian ISPO," ungkap Prayudi kepada elaeis.co, Rabu (8/5/2024). 

Itu artinya, nantinya, pekebun sawit yang belum mengantongi STDB tetap bisa mengikuti sertifikasi ISPO. 

Bagi pekebun sawit yang sudah mengantongi STDB, ini akan menjadi nilai tambah dalam penilaian tim auditor.

Namun, apapun upaya pemerintah, pencapaian sertifikasi di tahun 2025 diprediksi akan meleset.

Menanggapi situasi ini, Dr Diana Chalil selaku Consortium Studies on Smallholder Palm Oil (CSSPO) pada Universitas Sumatera Utara (USU) punya pendapat tersendiri.

Kata dia, persoalan yang sekarang penting itu bukan pada syarat pengajuan sertifikasi, akan tetapi teknis pelaksanaan di lapangan yang perlu diperbaiki. 

"Persyaratan STDB yang tadinya dianggap pekebun berat untuk melengkapi harus dipenuhi," kata Diana kepada elaeis.co beberapa hari lalu. 

"Revisi Perpres Nomor 44/2020 tidak terlalu krusial meskipun tujuannya mempermudah petani," Diana menambahkan. 

Lalu, apa solusinya? Diana bilang, Pemerintah justru harus lebih getol menyosialisasikan keberadaan dan pentingnya sertifikasi ISPO.

Ia melihat masih banyak pekebun swadaya yang belum pernah dengar legalitas tersebut. 

"Bisa melalui peningkatan informasi program secara maksimal, gelar pelatihan, dan koordinasi antar dinas dengan petani, serta ATR-BPN dilibatkan," bebernya. 

Ia lalu menuturkan pengalaman sejumlah organisasi non-pemerintah atau non-goverment organization (ornop/NGO) dalam proses sertifikasi ISPO di lapangan.

Kata Diana, ternyata para aktivis ornop membutuhkan waktu sekitar 1-3 tahun untuk proses engagement atau membangun keterlibatan petani sawit.

"Ditambah lagi perlu sekitar 1 tahun pembentukan kelompok pekebun hingga bisa secara mandiri menjalankan proses sertifikasi ISPO," tegas Ketua Program Studi (Prodi) Magister Agribisnis Fakultas Pertanian (Faperta) USU ini.

Meski demikian, Diana yakin kalau secara konsep sertifikasi ISPO sudah cukup baik dan wajib dikantongi setiap usaha perkebunan sawit. 


Catatan: berita ini telah melalui proses pengeditan ulang pada pukul 8:42 Wib, 16 Mei 2024. Harap maklum. Redaksi

Komentar Via Facebook :