Berita / Editorial /
Puak
Hamparan pegunungan di kawasan Jawa Tengah tampak dari langit. foto: aziz
Segurat umpama tidak cukup menghampar perih luka para pewaris leluhur di tiap puak. Pun walau oleh segantang umbar di setiap perjumpaan.
Sebab meski sebegitu banyak uraian pada setiap pertatapan maya yang terpaksa dilakukan sepanjang pandemi, seujung kuncup pun tidak sampai mengena pada pusaran persoalan.
Memang, nasib puak didedah sebegitu rupa, seolah teramat penting lah para pewaris puak leluhur itu.
Tapi yang terjadi sesungguhnya adalah civil law sedang dibedal dalam sebuah rancang bangun yang teramat rumit bagi mereka yang lugu akan singkapan politik.
Inilah sesungguhnya akibat kelam dari perbagian swatantra itu. Perbagian yang bermula dari perbagian politik, bukan perbagian cita kemaslahatan seperti yang dititipkan oleh para founding father.
Bernegara, sesungguhnya adalah penguatan pilar-pilar rancang bangun kemegahan sebuah bangsa yang tercermin pada hakikat pucuk hidup para pewaris puak itu.
Bukan rancang bangun kepura-puraan, seolah, atau sedang dalam menemukan pola untuk kemaslahatan puak.
November tahun lalu hingga berlanjut pada Februari tahun ini, menjadi sejarah baru bagi swatantra untuk mengarti-pentingkan sebuah puak pewaris negeri itu.
Tapi sejarah itu menjadi kelam oleh mementingkan puak hanyalah sebuah kepura-puraan.
Puak kenyataannya sedang dibedal oleh kekuasaan yang terancang bernama kehutanan.
Rancangan yang sesiapapun tak berdaya untuk menyanggah apa lagi menantang, tak terkecuali pemegang kuasa tertinggi negeri ini.
Menyamarkan ketidak-kuasaan itu dihadirkan lah omnishiplaw --- sebut saja omnibuslaw, sesamudra aturan yang didalamnya teronggok hasil upaya mengalihkan persoalan.
Tentramnya sebuah negeri bukan ditandai oleh banyaknya aturan, tapi justru semakin sedikit aturan menandakan negeri itu damai.
Puak, memang bermula dari hutan. Tapi bukan kemudian dihutankan kembali ketika puak sudah tumbuh beradat dan beranak pinak.
Sebab dimanapun negeri yang terbangun, puncak pikirnya adalah bagaimana mensejahterakan puak, bukan bagaimana mensejahterakan hutan meski hutan juga teramat penting, bukan merajai puak.
Hutan ada di dalam puak bukan puak di dalam hutan. Itulah sebabnya manusia adalah mahluk paling mulia, bukan binatang apalagi tanaman berulang berpura hutan.
Akhir dari cerita ini sesungguhnya teramat sangat sederhana; kesadaran akan betapa pentingnya puak. Jika tak juga sadar, terbersit juga jadinya pertanyaan; apakah kuasa hutan adalah sejenis binatang, atau malah Tuakang!
Pemimpin Redaksi






Komentar Via Facebook :