Berita / Internasional /
Produksi Sawit Asia Tenggara Diprediksi Anjlok 2025–2026, Apa Penyebabnya?
Ilustrasi - dok.elaeis
Jakarta, elaeis.co - Industri sawit di Asia Tenggara masuk zona waspada. Dalam siklus 2025–2026, produksi sawit diproyeksikan melemah di tiga negara penghasil utama yakni Indonesia, Malaysia, dan sebagian kawasan Asia Tenggara lainnya.
Prediksi ini disampaikan Analis LSEG Singapura, Kian Pang Tan, yang menilai penurunan produksi dipicu kombinasi masalah struktural, cuaca ekstrem, dan tekanan perdagangan global.
Menurut Tan, perlambatan ekonomi dunia juga ikut menambah beban. IMF memperkirakan ekonomi Tiongkok hanya tumbuh 4,2 persen pada 2026, India 6,2 persen, dan Uni Eropa 1,1 persen. Kondisi ini membuat permintaan minyak nabati global ikut melemah.
“Tarif Amerika Serikat dan meningkatnya ketegangan dagang dengan Tiongkok sudah mengganggu arus perdagangan dan menekan aktivitas ekonomi global,” ujar Tan.
LSEG memproyeksikan produksi Indonesia bakal menurun karena banyak kebun berisi pohon tua, program peremajaan berjalan lambat, regulasi lahan makin ketat, serta kekeringan pertengahan tahun. Kondisi ini membuat produktivitas kebun turun, terutama di wilayah sentra.
Malaysia juga tidak lebih baik. Produksinya diperkirakan turun tipis menjadi 19,2 juta ton. Penyebabnya, peremajaan kebun yang baru berjalan 2 persen dari target 4 persen, serta tekanan penyakit tanaman yang makin sering muncul akibat pola cuaca yang tidak stabil.
Sementara itu, Thailand justru menjadi satu-satunya negara yang diprediksi mencatat kenaikan tipis hingga 3,58 juta ton, yang bisa menjadi rekor baru.
Indonesia menghadapi tekanan cuaca lebih berat. Kekeringan Mei–Juli menghantam Aceh dan Sumatera Utara—dua wilayah yang menyumbang 14 persen produksi nasional. Tan menyebut, kekeringan berkepanjangan ini dapat menurunkan hasil pada musim 2035–2036.
Di sisi lain, perkembangan La Niña diperkirakan membawa hujan ekstrem dan banjir lokal. Situasi ini berpotensi mengganggu panen dan transportasi buah segar dari kebun ke pabrik.
Dari sisi permintaan, Indonesia diperkirakan kehilangan 1,5–3 juta ton ekspor apabila mandatori B50 diterapkan penuh. Konsumsi dalam negeri justru naik 1–3 juta ton akibat kebutuhan biodiesel.
“B50 dapat meningkatkan permintaan biofuel Indonesia hingga 19–20 juta kiloliter dari 15,6 juta kiloliter saat ini,” kata Tan.
Jika ekspor Indonesia melemah, Malaysia punya peluang merebut pasar. Negara itu berpotensi menambah ekspor hingga 1 juta ton, apalagi pengirimannya sempat turun 9,5 persen dari Januari hingga Oktober.
Dengan kombinasi cuaca ekstrem, pohon tua, peremajaan lambat, dan ketidakpastian kebijakan, industri sawit Asia Tenggara tampaknya harus bersiap menghadapi tahun yang berat.







Komentar Via Facebook :