Berita / Nasional /
Petani Aspek-PIR Selalu Nikmati Harga Penetapan Disbun
Jakarta, elaeis.co - Harga beli hasil produksi kebun yang tinggi adalah harapan semua petani kelapa sawit di Indonesia. Namun tidak semua petani menikmati harga yang sesuai dengan keinginan petani tersebut.
Salah satu langkah pemerintah untuk mengatur pemerataan harga itu yakni dengan melahirkan Permentan Nomor 01 Tahun 2018 tentang penetapan harga yang dilakukan Dinas Perkebunan provinsi bersama petani dan perusahaan kelapa sawit. Dimana regulasi ini mengatur harga kelapa sawit sesuai dengan umur tanam.
Kendati begitu dalam aturan tersebut, harga yang ditetapkan hanya dapat dinikmati oleh petani mitra perusahaan atau petani plasma. Sedangkan petani mandiri atau swadaya hanya bisa menikmati harga lapangan saja.
"Petani kelapa sawit yang tergabung dalam Aspek-PIR tentu menikmati harga hasil penetapan dinas perkebunan itu. Karena kita merupakan petani yang berlembaga dan bermitra dengan perusahaan," ujar Ketua Umum Aspek-PIR, Setiyono saat berbincang bersama elaeis.co, Jumat (7/6).
Terkait harga lanjut Setiyono, petani Aspek-PIR lebih terjamin ketimbang petani mandiri atau swadaya. Artinya petani Aspek-PIR kecil kemungkinan mendapatkan harga yang rendah lantaran harga yang didapat sesuai dengan penetapan dinas perkebunan tadi.
"Jadi petani yang bergabung di Aspek-PIR secara otomatis akan langsung menikmati harga penetapan itu. Ini juga terjadi pada kebun yang beru berproduksi misalnya usia tanam 3 tahun," bebernya.
Sengkarut harga petani mandiri yang dibeli lebih rendah dari penetapan ini kata Setiyono dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari kejelasan penggunaan bibit kelapa sawit hingga perawatan yang seluruhnya harusnya diatur oleh lembaga, seperti koperasi.
Lantaran tidak adanya kelembagaan yang menjadi ujung tombak penjualan ke pabrik kelapa sawit (PKS), memaksa petani harus menjual hasil kebunnya ke pengepul atau ramp dengan harga yang lebih rendah dari penawaran harga PKS. Sebab petani tidak dapat akses Delivery Order (DO) dari PKS.
"Sistem jual beli seperti ini membuat rantai pasok TBS ke PKS semakin panjang hingga terjadi selisih harga yang cukup jauh dari harga penetapan," paparnya.
Cerita mengenai DO sendiri, menurut Setiyono ada kriteria yang harus dipenuhi oleh petani. Mulai dari status lahan, letak posisi kebun, titik koordinat, luas lahan, legalitas lembaga dan berapa jumlah hasil kebunnya.
"Memang panjang prosesnya. Jika sudah dipantau oleh PKS dan dinyatakan bagus, baru mereka akan mengeluarkan DO," ujarnya
Setiyono merasa tidak mungkin petani akan mendapatkan DO secara mandiri. Lantaran ada ketentuan tadi, malah Ia juga pernah mendengar harus dirinci berapa puluh ton dalam sebulan hasil kebun petani itu.
"Itu hanya kelembagaan yang bisa. Kelembagaan yang cuma 50 hektar juga belum masuk hitungan mereka (PKS)," paparnya.
Setiyono tidak menampik jika tidak ada minimal luasan lahan. Namun tetap harus relevan dengan kondisi yang ada.
"Kita gak bisa mengupayakan langsung. Namun ada cara yakni petani dikumpulkan, dikelompokkan dan dilembagakan. Nah, cara ini juga menjadi program aspek-pir hingga kini. Dimana kita mengandeng petani swadaya untuk dimitrakan agar dapat menikmati harga penetapan layaknya petani plasma. Harapan kita, jika ingin lebih baik ya harus bermitra," tandasnya.
Komentar Via Facebook :