Berita / Pasar /
Perdagangan Sawit Memanas: Malaysia Melaju, Indonesia Tertahan di Pasar Amerika Serikat
Analis Komoditas Bloomberg, Alvin Tai.
Jakarta, elaeis.co - Persaingan sawit Indonesia dan Malaysia di pasar Amerika Serikat makin ketat.
Menurut Analis Komoditas Bloomberg, Alvin Tai, hubungan dagang ketiga negara dengan AS bakal menentukan masa depan ekspor sawit Indonesia.
Masalahnya, Malaysia sudah tancap gas, sementara Indonesia masih berkutat dalam negosiasi yang belum tuntas.
Malaysia lebih dulu meneken perjanjian dagang dengan AS. Manfaatnya besar dimana bea masuk hanya 19 persen dan tarif nol untuk komoditas utama seperti sawit, kakao, dan karet. Namun, ada harga yang harus dibayar.
Negeri jiran itu wajib membeli USD 150 miliar semikonduktor, komponen kedirgantaraan, dan peralatan pusat data dalam lima tahun. Selain itu, Malaysia harus membeli USD 204 miliar batu bara serta menyalurkan USD 70 miliar untuk investasi modal.
Sementara itu, proposal dagang Indonesia masih terseok. Berdasarkan kerangka yang dirilis Gedung Putih pada Juli, Indonesia diwajibkan membeli USD 15 miliar produk energi AS setiap tahun, USD 4,5 miliar produk pertanian, serta membeli 50 pesawat Boeing dalam jangka waktu tertentu.
Tai menegaskan bahwa syarat paling sensitif adalah tuntutan AS agar Indonesia menghapus hambatan non-tarif, terutama untuk produk pangan dan pertanian.
“Jika hambatan non-tarif dibuka, jagung AS bisa masuk lebih bebas. Harga jagung lokal yang bisa 150 persen di atas harga internasional akan turun, dan ini menguntungkan industri unggas,” kata Tai saat IPOC 2025 di Nusa Dua, Bali.
Di sisi lain, kinerja ekspor Indonesia ke AS terus melandai. Pada 2024, Indonesia mengirim 1,54 juta ton sawit dengan nilai USD 1,59 miliar. Namun, sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini, ekspor anjlok 25,8 persen.
Malaysia langsung memanfaatkan momentum, ekspor mereka ke AS dalam tujuh bulan sudah hampir menyamai total setahun penuh pada 2024.
“Setiap kali Indonesia kirim lebih sedikit, Malaysia langsung mengisi kekosongan,” ujar Tai.
Permintaan sawit di AS sebenarnya besar, terutama untuk industri renewable diesel yang kekurangan bahan baku minyak nabati. AS membutuhkan 43 miliar pon minyak nabati, tetapi kapasitas domestik baru 34,5 miliar pon, bahkan setelah memperhitungkan pasokan Kanada dan Meksiko.
Di dalam negeri, mandatori B50 menambah tekanan. Kebijakan ini membutuhkan tambahan 3,5 juta ton minyak sawit, yang berpotensi mengurangi daya dorong ekspor.
Tai mengingatkan bahwa neraca pembayaran Indonesia sudah masuk zona negatif. Pasar valuta bahkan memprediksi rupiah dapat menyentuh rekor terendah baru terhadap dolar AS, setelah sebelumnya melemah terhadap dolar Singapura, ringgit Malaysia, baht Thailand, dan dong Vietnam.
Di akhir paparannya, Tai memberi peringatan keras. “Indonesia harus memaksimalkan ekspor untuk mencegah defisit. Penerapan B50 justru berlawanan dengan tujuan itu,“ tegasnya.
Dengan tensi dagang global yang makin panas, langkah Indonesia di pasar AS kini benar-benar berada di titik kritis.







Komentar Via Facebook :