https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

Khusus UCO

Pengusaha ini Malah Minta Kebijakan Larangan Ekspor Dipermanenkan

Pengusaha ini Malah Minta Kebijakan Larangan Ekspor Dipermanenkan

Ketua Umum APJETI Matias Tumanggor. (Dok. Pribadi)


Jakarta, elaeis.co - Kebijakan larangan ekspor yang diberlakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai Kamis (28/4/2022) lalu tidak hanya diterapkan untuk minyak goreng (migor) dan bahan baku migor, melainkan juga untuk minyak goreng jelantah atau used cooking oil (UCO).

"Kalau kami yang ditanya, pasti jawabannya berbeda. Kami malah meminta kebijakan Pak Presiden itu permanen, tapi khusus untuk UCO. Jadi, UCO-nya dipakai untuk kebutuhan dalam negeri," kata Matias Tumanggor kepada elaeis.co, Rabu (4/5/2022).

Matias adalah Ketua Umum Asosiasi Pengumupul Minyak Jelantah untuk Energi Baru dan Terbarukan Indonesia (APJETI).

Ia bilang dari dulu APJETI tidak pernah mendukung kebijakan yang memperoblehkan UCO untuk diekspor.

Kata dia, 98 persen stok UCO di dalam negeri biasanya akan diekspor dan hanya menyisakan 2 persen untuk kebutuhan dalam negeri.

Ia mengaku miris melihat hal ini. Tetapi hal itu terjadi karena UCO tidak terlalu banyak digunakan di dalam negeri.

Dengan pelarangan ekspor secara permanen, ia yakin UCO akan digunakan untuk kebutuhan di dalam negeri, termasuk untuk penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).

Ia menegaskan 86 anggota APJETI tidak pernah merasa rugi jika dilarang mengekspor dan seluruh stok UCO diharuskan digunakan untuk kebutuhan energi di dalam negeri.

Pihaknya justru merasa sangat diuntungkan jika UCO sepenuhnya dipakai untuk kebutuhan energi terbarukan di dalam negeri.

Sebab, dengan demikian kesadaran menggunakan EBT semakin kuat dan pasar UCO akan tercipta.

"Kalau diekspor apa untungnya buat pelaku? Coba sebutkan? Eropa memang membutuhkan UCO untuk biodiesel mereka. Tapi yang untung dari sini adalah pengusaha ekspor UCO, bukan pelaku atau penyuplai UCO. Ini yang berbeda," kata Matias.

Ia mengungkapkan, para pelaku usaha penyuplai UCO non-APJETI selama ini sering perang harga satu sama lain.

Jika satu penyuplai menerapkan harga Rp 10.000 per liter UCO, maka penyuplai lain akan menaikan tawaran.

Tujuannya agar para penjual memilih menjual UCO ke perusahaan yang menerapkan harga lebih tinggi.

Namun tetap saja harga yang akan ditawarkan sangat terbatas, sesuai dengan harga pembelian tertinggi yang ditetapkan oleh perusahaan pengekspor UCO.

"Yang diuntungkan dari praktek ini cuma dua pihak, yakni eksportir UCO dan penghasil UCO seperti pihak pengelola restoran atau rumah makan. Bayangkanlah, ini contoh, harga jelantah yang cuma Rp 3.500 per liter jadi Rp 11.000 per liter," kata Matias.

Sementara pihak eksportir CPO malah lebih santai karena dari awal sudah menetapkan harga pembelian UCO ke para penyuplai.

Kata Matias, eksportir UCO sudah bisa menentukan di tahap awal berapa keuntungan yang bakal diambil dari para penyuplai.

Apalagi bila di saat yang sama harga UCO di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sedang tinggi.

Sekarang, berdasarkan informasi yang ia dapat, harga UCO di dalam negeri jatuh setelah kebijakan Presiden Jokowi diterapkan.

Komentar Via Facebook :