https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Pemutihan Perkebunan Sawit atau Kegagalan Kelola Kawasan Hutan 

Pemutihan Perkebunan Sawit atau Kegagalan Kelola Kawasan Hutan 

Dr. Sadino. foto: aziz


Saat ini Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara yang keberadaannya didasari oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023 yang dikeluarkan pada tanggal 14 April 2023 mulai menjalankan proses klarifikasi data perkebunan sawit melalui Sistim Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN). 

Proses melalui pendataan SIPERIBUN yang digunakan tentunya akan menghasilkan tata kelola perkebunan yang lebih baik dan potensi pendapatan negara yang bersumber dari perkebunan sawit juga akan lebih baik kedepannya. 

Proses pendataan melalui self reporting tentunya memberi harapan itu perbaikan dan tranparansi data perkebunan yang dimiliki oleh pelaku usaha yang pada akhirnya perkebunan sawit diharapkan akan lebih berkelanjutan dan sejarah komoditas perkebunan sawit dapat dipertahankan untuk masa depan Bangsa Indonesia ke depannya.

Agar supaya SATGAS dapat memperoleh data subyek hukum dan luasan lahan perkebunan sawit yang lebih akurat tentunya model cek and ricek perlu dikedepankan karena data yang disampaikan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melalui Data dan Informasi Perkebunan Sawit yang masuk dalam Kawasan hutan masih bersifat “indikatif”. 

Sementara yang namanya indikatif tentunya diperlukan klarifikasi dan saling menjelaskan agar data klaim kebun sawit dalam Kawasan hutan menjadi lebih clear

 

Penggunaan data indikatif tentunya sangat rentan akan potensi timbulnya permasalahan hukum dan akan mempersulit mencari format perbaikan dalam tata kelola ke depannya. 

Jika salah tata kelola, maka komoditas sawit tidak menutup kemungkinan akan mengalami kondisi yang sama dengan komoditas lain yang pernah jaya di Indonesia, seperti rempah-rempah, gula, karet, cengkeh dan lainnya.

Penggunaan istilah “pemutihan” juga perlu diperhatikan oleh SATGAS karena makna dari pemutihan mempunyai makna yang kurang baik sebab data awal yang digunakan adalah “indikatif”.

Sumber perizinan di perkebunan sawit sangat dipengaruhi oleh dinamika hukum yang terkait dengan otonomi daerah, penataan ruang, kehutanan, perkebunan, pertanahan yang sudah berlangsung sangat lama seperti halnya lamanya Indonesia Merdeka karena perkebunan sawit telah berumur lebih dari 100 tahun. 

Dalam perjalanannya tentu ada yang baik dan kurang baik dan itu tentu membutuhkan perbaikan administratif oleh Pemerintah. 

Semua perizinan adalah produk Pemerintah. Jika terjadi carut marut yang salah juga Pemerintah. Karena perizinan perkebunan sawit dan perkebunan lainnya bersumber dari izin Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 

 

Sebagian besar Data Indikatif oleh KLHK tidak terferifikasi dan cenderung mengabaikan produk hukum negara yang bersumber dari Kementrian/Lembaga lain yang ada di Indonesia, sehingga seperti Hak Atas Tanah, Pelabuhan, perkampungan, areal transmigrasi, dan bahkan masyarakat lokal yang bersifat turun temurun juga tidak diakui. 

Dari tabel di atas jelas terlihat bahwa problem utama adalah tentang memahami Kawasan Hutan itu sendiri yang selama ini menjadi domain sepihak oleh Kementrian/Lembaga. 

Jika dilihat dari luasan penggunaan Kawasan hutan dan itu yang benar, maka perkebunan sawit seperti ingin dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan di Indonesia, sehingga lahirnya Peraturan (EU) 2023/1115 Parlemen Eropa dan Dewan tentang Penyediaan di Pasar Uni Eropa dan Ekspor Komoditas dan Produk Tertentu dari Uni Eropa yang terkait dengan Deforestasi dan Degradasi Hutan. 

 

Dari tabel yang ada jelas luasan dari semak belukar lebih mendominasi dan pasti karena semak belukar akan tidak bisa dikontrol sebagai penyebab permasalahan lahan dan juga penyebab masyarakat berkeinginan untuk memanfaatkan lahan sebagai anugerah Tuhan. 

Dengan data dalam tabel juga menunjukkan dengan lahan banyak yang kosong menunjukkan kegagalan tata kelola hutan yang belum berhasil karena membiarkan lahan dalam bentuk semak belukar. 

Tentunya lahan yang mempunyai tanaman dan penutupan lahan dan menghasilkan produksi yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara tentu lebih baik dari sisi ketahanan pangan dan lingkungan hidup.

Dari tabel terlihat luasan untuk penutupan lahan semak belukar mencapai 6.589,1 juta hektar, semak belukar rawa 5.514,3 juta hektar, perkebunan/kebun 4.276,8 juta hektar. 

Tentu yang ada indikasi 3.4 juta hektar kebun sawit ada di situ. Rasanya dalam hal perkebunan sawit adalah sangat terkait budidaya, sedangkan yang lahan dalam tabel tersebut terlalu luas yang tidak produktif tetapi yang produktif menjadi salah. 

Semoga data tersebut benar adanya dan menjadi perhatian bagi semua pihak untuk melakukan penilaian.

Karena perkebunan sawit dan perkebunan lainnya tersebut sudah ada yang mempunyai Hak Atas Tanah yang sah yang diberikan oleh Pemerintah sebagai hak konstitusional bagi pemegang hak atas tanah sesuai asas hukum “Presumptio Iustae Causa (Semua Tindakan Pemerintah adalah sah dan benar kecuali dibuktikan sebaliknya melalui Pengadilan)”.  

Sebaliknya terhadap produk hukum yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dapat menggunakan penyelesaian hukum dengan menggunakan asas hukum contrario actus, jika terdapat kesalahan dalam mengeluarkan produk hukumnya. 


Dr. Sadino, SH.MH. 
Pakar Hukum Kehutanan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar, Jakarta.

Komentar Via Facebook :