Berita / Papua /
Papua Harus Untung dari Sawit, DPR Usul Pola Plasma Dirubah
John NR Gobai, Wakil Ketua IV DPRD Provinsi Papua Tengah. Dok.istimewa
Papua, elaeis.co - Tanah Papua menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, termasuk perkebunan kelapa sawit.
Namun, menurut John NR Gobai, Wakil Ketua IV DPRD Provinsi Papua Tengah, selama ini masyarakat Papua belum banyak merasakan manfaat dari sawit yang ditanam di tanah mereka. Sebagian besar keuntungan justru mengalir ke pemerintah pusat dan perusahaan.
Gobai menekankan, di banyak daerah Papua terdapat ratusan hingga ribuan hektare kebun sawit yang dikelola perusahaan. Konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan masih kerap terjadi.
"Kehadiran perkebunan ini tidak hanya mempengaruhi mata pencaharian masyarakat, tapi juga mengancam sumber tanaman obat tradisional dan memicu banjir di beberapa wilayah," kata Gobai, Rabu (1/10).
Menurut Gobai, solusi jangka panjang bukan menambah kebun sawit baru, tapi memastikan kebun yang sudah ada memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Salah satu mekanismenya adalah melalui Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023, DBH Sawit dibagi dengan proporsi 20% untuk provinsi, 60% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 20% untuk kabupaten/kota tetangga.
Gobai menekankan, provinsi dan kabupaten di Papua tidak boleh hanya menjadi penonton. DBH Sawit harus digunakan untuk pengembangan ekonomi masyarakat sekitar, mendukung komunitas adat, dan membangun kampung-kampung di sekitar perusahaan kelapa sawit. Dengan cara ini, sawit bisa menjadi sumber kesejahteraan, bukan sekadar komoditas yang diambil tanpa manfaat lokal.
Selain itu, Gobai menyoroti pentingnya kebun plasma. UU Perkebunan mengatur 20% dari total lahan sawit harus menjadi plasma untuk masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering sulit diterapkan. Gobai mengusulkan perubahan komposisi 80% untuk masyarakat dan 20% untuk perusahaan, dengan pola yang lebih jelas agar manfaat ekonomi lebih terasa.
Langkah lain yang dianggap penting adalah mengembalikan tanah adat yang belum digarap menjadi kebun sawit. Pemerintah pusat diharapkan membuat mekanisme reklamasi, sehingga lahan yang telah diberikan izin namun belum dibuka bisa kembali ke masyarakat. Hal ini sekaligus menghormati hak masyarakat adat, sesuai Pasal 18B ayat 1 UUD 1945.
Gobai menekankan, Papua harus menjadi penerima manfaat langsung dari industri sawit. Tidak hanya DBH dan plasma, pembangunan industri sawit dan fasilitas ekspor juga bisa dilakukan di Papua agar pajak, pungutan ekspor, dan PPh badan tetap mengalir ke provinsi. Dengan begitu, sawit bisa menjadi penggerak ekonomi lokal dan tidak lagi hanya menguntungkan perusahaan dan pemerintah pusat.
Menurutnya, perubahan pola plasma dan pengelolaan DBH adalah langkah awal menuju keadilan ekonomi di Papua. “Sawit harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat, memperkuat ekonomi lokal, dan menghormati hak adat. Jika tidak, konflik akan terus muncul dan potensi sawit tidak dirasakan sepenuhnya,” ujar Gobai.
Dengan penerapan pola plasma yang lebih adil dan pengelolaan DBH yang transparan, Papua berpeluang menjadi daerah penghasil sawit yang sejahtera, bukan sekadar wilayah produksi. Perubahan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga penghormatan terhadap masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan di Tanah Papua.







Komentar Via Facebook :